Semuak-muaknya, Tetap Lakukan Tanggung Jawabmu dengan Maksimal

Oleh Edilia Vinita, Jakarta

Matius 25:14-30.

Perikop apakah ini? Kalau kamu menjawab tentang “talenta”, kamu dapat nilai 100!

Membaca perikop ini membuatku bertanya-tanya akan apa yang ada di benak Tuhan Yesus saat Dia memberikan perumpamaan ini. Pernahkah kamu berpikir mengapa Yesus membuat si penerima 1 talenta memiliki akhir cerita yang buruk? Alangkah lebih mudah dimengerti jika Yesus berkata bahwa si penerima 1 talenta membuahkan 2 talenta, dan si penerima 5 talenta tidak membuahkan talenta apa pun. Kalau contohnya seperti ini kan, secara moralitas, kita dapat simpulkan, bahwa tidak peduli seberapa besar talenta yang kita punya asalkan kita setia mengelolanya sepadan dengan talenta yang kita terima, maka Tuhan akan memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran dan perbuatan yang terpuji. Akan tetapi, Tuhan Yesus malah menjadikan si penerima 1 talenta yang sudah cuma punya 1, malas pula! Perumpamaan yang cukup kontroversial karena membuat sebagian orang diyakinkan dengan konsep “yang kaya makin kaya, dan yang miskin semakin miskin.” Apakah betul begitu?

Pertama-tama, talenta adalah satuan uang di zaman itu, dan ada beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa satu talenta setara dengan upah bekerja belasan tahun! Jika benar seperti ini, 1 talenta bukanlah uang yang kecil, meskipun dalam kisah ini ada beberapa hamba lainnya yang menerima lebih banyak talenta. Aku yakin banyak dari kita sudah tahu bahwa perumpamaan talenta ini ingin mengingatkan kita sebagaimana seharusnya kita bertanggung jawab dan setia mengelola apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, termasuk yang terkecil sekalipun. Akan tetapi, aku ingin mengajak kita semua untuk merenungkan perikop ini lebih dalam lagi, khususnya mengenai makna dari perbedaan pendistribusian talenta ini serta kisah tentang hamba ketiga, si penerima 1 talenta ini.

Tuhan yang adil & kesanggupan setiap orang yang berbeda-beda

Tuan dan hamba dalam perumpamaan ini digunakan Tuhan Yesus untuk menggambarkan relasi Allah dengan manusia. Selayaknya satu tubuh manusia yang memiliki fungsi dan beban pekerjaan yang berbeda-beda, pendistribusian talenta yang berbeda-beda ini menggambarkan perbedaan peranan umat-Nya untuk memenuhi pekerjaan Tuhan. Mungkin banyak di antara kita mempertanyakan fondasi atau dasar dari perbedaan pendistribusian talenta ini.

Berdasarkan perikop Matius 25:14-30, pendistribusian talenta yang berbeda ini Tuhan berikan “menurut kesanggupannya.” Perbedaan angka pendistribusian dari sang tuan bersifat sangat adil dikarenakan kesanggupan hambanya yang berbeda-beda. Adil tidak berartikan sama rata; perlakuan yang adil adalah saat di mana setiap orang menerima bagiannya sesuai dengan porsi atau kemampuannya. Oleh sebab itu, perbedaan angka bukanlah standar kaya atau miskinnya si hamba, melainkan standar kemampuan setiap hamba yang berbeda-beda.

Matthew Henry dalam penafsirannya menjelaskan bahwa memang betul “kesanggupan” atau kemampuan di awal ini juga merupakan pemberian dari Tuhan, akan tetapi, Tuhan adalah agen yang bebas yang dapat membagikan kesanggupan setiap orang sesuai dengan kehendak-Nya (God is a free agent, dividing to every man severally as he will). Tuhan atau tuan yang digambarkan dalam perumpamaan ini adalah seorang yang perbuatan dan kehendaknya merupakan kebenaran absolut, sehingga tidak ada manusia yang layak menyatakan bahwa keputusan yang dipilih-Nya salah. Meskipun kesanggupan dan talenta setiap orang berbeda-beda, yang pastinya tuntutan pertanggungjawabannya tidak melampaui apa yang diberikan-Nya di awal. Hamba yang menerima 5 talenta lalu menghasilkan 5 talenta lagi dikatakan hamba yang baik dan setia; begitu juga hamba yang menerima 2 talenta lalu menghasilkan 2 talenta lagi juga dikatakan sebagai hamba yang baik dan setia. Boleh dibilang, adanya kebijakan Tuhan yang adil dan bijaksana dengan adanya pemberian dan tuntutan yang setimpal. Aku percaya bahwa Tuhan juga akan mengatakan hamba ketiga hamba yang baik dan setia jika dia menghasilkan 1 talenta lagi. Matthew Henry dalam penafsirannya juga mengangkat poin yang menarik, bahwa se-sedikitnya seorang menerima talenta, dia minimal mendapatkan satu talenta. Nyawa kita ini adalah satu talenta tersebut yang Tuhan sudah percayakan bagi kita semua yang lahir ke dunia ini, agar kita dapat berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Hamba ketiga: sentimen musuh

Mari kita melihat secara detail perkataan si hamba ketiga ini. “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.” (Matius 25:24). Hamba ketiga dengan percaya diri mengatakan “tahu” tentang tuannya, lalu mengecam tuannya sebagai manusia kejam. Jika diperhatikan secara seksama, kalimat yang dilontarkan hamba ketiga sesungguhnya bertentangan dengan perbuatannya. Kalau dia sudah tahu tuannya adalah manusia yang kejam serta menuai tempat di mana dia tidak menabur, bukankah seharusnya dia bekerja dengan rajin dan teliti lagi supaya dia tidak dihukum? Maka, kalimat yang si hamba lontarkan merupakan sebuah tudingan terhadap sang tuan. Si hamba seolah menyalahkan ketidak-berbuahan talentanya alhasil dari ketidakadilan talenta yang diberikan tuannya. Hal ini tentu bukan yang pertama kalinya terjadi di antara banyaknya tokoh di Alkitab. Jangankan hamba yang ketiga ini, Adam saja saat kejatuhannya menyalahkan Tuhan karena telah menghadirkan Hawa baginya. Kedagingan serta hati berdosa manusia cenderung memiliki opini yang salah dan jahat terhadap kehendak Tuhan. Bagaikan sentimen sang musuh, penuduhan terhadap Tuhan hanya datang dari mereka yang tidak mengasihi dan tidak percaya pada kehendak-Nya.

“Karena itu aku takut,” kata hamba ketiga. Karena kesalahpahaman opininya terhadap sang tuan, dia mengambil respon yang salah, yang akhirnya menghalanginya melakukan kewajibannya. Ketakutan si hamba membuatnya menyembunyikan talentanya. Pikiran yang baik terhadap Tuhan seharusnya membuahkan kasih, dan kasih itu akan mendorong kita untuk bekerja lebih keras dan lebih setia untuk Tuhan; pikiran yang jahat terhadap Tuhan akan membuahkan ketakutan yang membuat kita tidak berbuah, atau yang si tuan katakan sebagai “hamba yang malas.” Seperti saat kita berasumsi bahwa kita tidak mungkin dapat menyenangkan hati Tuhan, atau kita tidak layak sehingga kita tidak ingin terlibat dalam pelayanan. Tudingan yang salah terhadap Tuhan akan menghalau kita berbagian dalam pekerjaan Tuhan.

Walaupun hamba ketiga ini tidak menghabiskan satu talenta yang diterimanya, ternyata tidak melakukan apa pun sebuah pelanggaran di mata sang tuan. Dia pikir, dengan tidak menghabiskan satu talentanya, walaupun tidak mendapatkan pujian, setidaknya dia aman. Ternyata tidak, Tuhan juga akan menuntut pertanggungjawaban dari apa yang telah Dia berikan, termasuk yang terkecil sekalipun. Untuk perbuatan yang tidak menyia-nyiakan namun tidak juga berbuah, hamba ketiga tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

Stewardship, Responsibility, and Faithfulness (Pengelolaan, Tanggung Jawab, dan Kesetiaan)

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa si penerima 5 talenta adalah hamba yang beruntung karena mendapatkan modal awal yang lebih banyak. Akan tetapi, pernahkah terlintas di pikiran kita semua akan pertanggungjawaban dan penderitaan yang setimpal dengan apa yang diterimanya? Setiap dari kita akan dituntut sesuai dengan “talenta” yang telah Tuhan berikan di awal. Terus terang, karena aku juga seorang pedagang, aku cukup paham bahwa semakin besar modalnya, maka semakin rumit mengelolanya dan semakin besar risikonya. Sama halnya dengan apa pun yang dititipkan Tuhan dalam diri kita, lebih besar “talenta”nya maka lebih besar juga beban dan tanggung jawabnya.

Perikop ini bukan dilihat dari jumlah talenta yang diberikan, akan tetapi dari perspektif tanggung jawab. Jika dilihat dari sudut pandang level tanggung jawab, hal ini bukanlah perkara “yang miskin jadi semakin miskin,” akan tetapi “sudah diberikan tugas yang paling gampang, tapi paling malas.” Perumpamaan ini bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa seringkali manusia cenderung meremehkan dan melalaikan perkara kecil. Padahal, sekecil apapun pemberian Tuhan, itu tetap memiliki peran yang penting dan juga perlu dikelola. Walaupun pengelolaanya mudah seakan tiada dampaknya, tidak berarti kita luput dari pertanggungjawaban Tuhan.

Terbersit sebuah pemikiran, apakah mungkin perikop ini ditujukan buat kita yang selalu berperasaan seperti hamba ketiga ini, baik itu prasangka kita terhadap Tuhan maupun pemberian Tuhan kepada diri kita. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi bahwa satu talenta setara gaji bertahun-tahun, maka sekecil-kecilnya yang Tuhan berikan masih sangat amat cukup.

Mungkin perumpamaan ini Tuhan ingin sampaikan kepada kita yang selalu merasa Tuhan tidak adil dengan keadaan kita yang kurang modal, kurang kepandaiaan, kurang ahli, kurang ini itu. Mindset selalu merasa kurang malah menjadi faktor hambatan terbesar kita. Hamba yang memiliki dua talenta juga memiliki kemungkinan untuk berasumsi buruk dengan apa yang dimilikinya karena berbanding pada hamba yang menerima 5 talenta, akan tetapi, tidak pada kasusnya. Hamba yang menerima dua talenta tetap setia mengerjakan apa yang diberikan dan alhasil memiliki empat talenta. Sesungguhnya, hal ini menunjukan bahwa adanya ruang untuk pertumbuhan jika kita fokus dan setia mengerjakan apa yang kita miliki.

“Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Matius 25:29). Kalimat ini terus terang cukup kontroversial mengingat pemberian talenta di awal itu berasal dari Tuhan, sehingga memberikan celah bagi banyak orang untuk menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, mempunyai atau tidak mempunyai di penghujung kisah tidak mengacu pada jumlah talenta. Matthew Henry menjelaskan bahwa konsep mempunyai di sini dapat diartikan sebagai mempunyai karakter dan tanggung jawab seperti hamba yang menerima 2 dan 5 talenta; dan tidak mempunyai dalam perikop ini merujuk pada hamba ketiga yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola.

Kesetiaan adalah karakter utama orang Kristen dalam berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Kesetiaan membuat kita fokus pada apa yang kita miliki, serta mendorong kita mengerjakan dari apa yang sudah kita dapatkan. Mungkin pada konteks hari ini, kesetiaan pada perkara kecil itu melibatkan perkara keseharian kita, seperti saat kita bekerja, berinteraksi, beraktivitas, dsb. Dan ada kalanya rutinitas kita sudah bikin kita enek-blenek sampai mau muntah, tapi ya itulah tantangan kita sebagai orang Kristen, semuak-muaknya harus tetap dilakukan semaksimal mungkin mengingat bahwa semua ini telah Tuhan percayakan untuk kita kerjakan.

Semangat terus man-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
5 replies
  1. Bravo Sinaga
    Bravo Sinaga says:

    Inspiratif untuk muda mudi yg saat ini bekerja di bawah tekanan, tapi harus kuat dan tetap bertahan atau mengembangkan dgn baik sesuai dgn talenta yg sudah diberikan oleh Tuhan..

  2. Anonymous
    Anonymous says:

    saya bbrp tahun kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Mencoba buka usaha tapi gagal dan gagal. Lalu dengan bantuan keluarga saya bisa bekerja sebagai seorang honorer. Saya bersyukur bisa bekerja tapi dalam hati saya selalu merasa bersalah krn sy bisa bekerja krn bantuan orang dalam. terkait dengan artikel ini, apakah pekerjaan ini merupakan talenta yang Tuhan berikan? Karena saya selalu merasa bukan.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *