Pada Tempat yang Gersang Pun, Tuhan Bisa Memberi Berkat

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Awalnya aku kira, semua hal yang sudah pernah kita lakukan berulang kali akan membuat kita lebih mudah melakukannya saat hal itu dicoba lagi. Rupanya hal itu tidak sepenuhnya benar, setidaknya hal itulah yang aku rasakan dalam pengalamanku berpindah-pindah tempat kerja.

Pekerjaan pertamaku di 2021 cukup membuatku pusing pada bagian hal-hal teknis, aku sempat kewalahan dan bingung bagaimana bisa mengerjakan beberapa job desc sekaligus dalam satu hari. Syukurlah Tuhan memberikanku teman-teman suportif yang selalu menyemangatiku setiap aku menemui kesulitan. Tiga bulan kemudian akhirnya aku mulai bisa menemukan ritme kerja dan merasakan bagaimana pekerjaan itu mengalir dengan baik.

Di 2023, pada lingkungan pekerjaan yang baru, ternyata waktu yang kubutuhkan lebih sedikit dibandingkan pekerjaan pertamaku untuk tahu bagaimana ritme kerjanya, namun ternyata waktu yang lebih lama itu harus kudedikasikan untuk meraba bagaimana harus berinteraksi dengan teman-teman sekantor yang dinamikanya lebih banyak dan variatif dibandingkan di tempat bekerja sebelumnya.  Selang 6 bulan dari pekerjaan ini, akhirnya aku pindah lagi ke tempat pekerjaanku sekarang dan sudah hampir 1.5 tahun aku menjalaninya.

Apakah di pekerjaan ketigaku ini semuanya terasa mudah karena aku sudah melewati 2 pekerjaan dengan latar belakang dan tantangan yang berbeda? Aku harap demikian, namun nyatanya, pekerjaan ini membuatku lebih banyak merenung, khawatir, dan bingung. Di pekerjaan ini, pekerjaan yang sebenarnya aku sangat harapkan, aku menemukan hal-hal baru yang belum kutahu jawabannya dan aku harus meraba, mencoba beberapa metode, untuk tahu mana yang cocok untuk masalah A, B, dan C. Belum lagi ditambah hal-hal non teknis di pekerjaan.

Dalam minggu tertentu, kusadari betapa mudahnya mood-ku berubah dari yang baik-baik saja menjadi khawatir karena belum bisa menyelesaikan target tertentu. Betapa bulan-bulan pertama bekerja menjadi bulan-bulan penuh rasa mual dan tak enak di perut hasil manifestasi rasa cemasku. Saat pagi hari, ketika jarum panjang jam mendekati angka 7, aku deg-degan, rasanya ingin menunda untuk ke kantor, khawatir apa yang akan terjadi dan apakah aku akan bisa melakukannnya. Hari-hari kuhitung hati-hati. Jika sudah tiba hari Jumat, aku merasa lebih lega, tahu bahwa besok aku bisa istirahat dan bebas dari rasa khawatir, walaupun kadang aku pun bekerja mandiri di akhir pekan itu.

Mungkin beberapa dari kalian memahami benar perasaan ini: aku takut dengan atasan, aku takut dengan teman kantor, dan aku pun takut dengan pekerjaanku. Beberapa kali aku mempertanyakan kapabilitas diri, atau apakah sebenarnya jalan yang sedang kupijaki ini salah dan aku harus mengubah haluan? Kadangkala aku keluar dari toilet dengan tangis yang tertahan dan beberapa malam di rumahku hanya kuhabiskan dengan scrolling Instagram dengan tatapan kosong tak tahu apa yang sedang terjadi di hidupku.

Sekarang, hal-hal itu masih terjadi, masih ada waktu di mana aku mati rasa atau tiba-tiba jantungku deg-degan karena takut akan dimarahi untuk hal yang belum maksimal kulakukan. Namun aku tahu, di tengah rasa cemasku, stres, dan tertekanku, aku harus mencari jalan untuk memperbaiki semua ini. Aku pun tahu bahwa perasaan ini universal dan kita perlu saling mendukung. Tuhan baik. Kadang kala saat aku termenung sendirian, aku diberikan bahan untuk berpikir, kadang tiba-tiba jawaban pertanyaanku muncul, atau aku disadarkan lewat orang lain. Jika harus kuakumulasikan semua waktu sejak aku mulai bekerja, ini adalah beberapa insight yang sudah aku temukan dari permasalahanku dan bagaimana mengatasinya:

1. Memahami bahwa jika ini bukan pekerjaan ideal kita, Tuhan akan tetap menyertai

Pekerjaan keduaku bukan sesuatu yang sepenuhnya ideal. Demikian juga pekerjaanku saat ini. Beberapa kali aku merasa ingin kembali ke pekerjaan pertama, pekerjaan yang entah kenapa walau begitu sulit pada awalnya namun berhasil kutaklukkan. Beberapa kali aku bertanya apakah aku harus kembali ke perusahaan pertama itu? Apakah harus aku mengulang semuanya dari awal? Tapi tentu aku sangat lelah untuk mendaftar kerja via LinkedIn sehingga pikiran-pikiran itu masih seperti angin lewat.

Setelah kupikir-pikir, tidak ada pekerjaan yang benar-benar sempurna, sedikit memar di bagian-bagian tertentu lumrah terjadi. Terlampau sering aku mendengar teman dekatku curhat tentang relasi antara dia dan atasannya, temanku yang lain mengeluh tentang benefit yang ia rasa masih kurang untuk tugasnya yang terus menumpuk, dan aku pun masih bingung untuk beberapa job-desc. Dengan adanya kekurangan-kekurangan ini, rentan bagi kita untuk bertanya apakah ini memang tempat kita?  Apakah seharusnya kita mencari tempat lain?

Ya, mungkin saja begitu. Mungkin saja ini bukan tempat akhir kita, bukan tempat yang benar-benar sesuai dengan kita. Secara objektif, mungkin saja kita lebih cocok di tempat lain dan bukan di sini. Mungkin saja. Namun, aku belajar bahwa waktu dan energi kita akan habis sia-sia untuk terus berandai-andai di tempat lain sementara yang sekarang terjadi, kita sudah di tempat kita berada. Bukankah tempat kita yang sekarang juga berkat anugerah Tuhan? Jika boleh, kita bisa sejenak kilas balik tentang bagaimana kita berjuang untuk sampai di tempat ini. Tahap seleksi demi tahap seleksi, pengorbanan yang juga mungkin besar, dan banyaknya doa yang kita daraskan untuk diantarkan ke posisi sekarang.

Menurut tafsir yang kubaca pada 1 Korintus 7:17, Tuhan menetapkan posisi kita sekarang. Ia mengizinkan ini terjadi, maka Ia yang akan menyertai dan menyediakan. Memang bisa jadi tempat yang sekarang tidak cocok, namun pada tempat yang menurut kita gersang pun, Tuhan bisa memberikan kita berkat dan pertumbuhan yang kita butuhkan.

Jika rasanya pekerjaan ini tidak nyambung dengan latar belakang pendidikanmu? Maka Tuhan menyediakan jalan untuk membuat kita mampu belajar selama kita terus berusaha. Di pekerjaan keduaku, tanpa kusadari, aku bertemu orang-orang yang menyadarkanku bahwa ada cara yang bisa kutempuh untuk menyelesaikan masalah A, B, dan C. Aku hanya perlu berhenti mengeluh sejenak dan menerka-nerka bagaimana solusi untuk masalahku dengan pikiran terbuka, yang diawali dengan niat dan doa. Lucu jika mengingat dulu aku merasa sepertinya tidak cocok dengan posisi itu dan sekarang aku malah ingin mencoba kembali posisi itu.

Tuhan yang yang menolongku di pekerjaan pertama dan kedua adalah Tuhan yang sama yang juga sudah dan terus menolongku di pekerjaan sekarang. Pada Ia saja aku temukan pertolongan tanpa penghakiman dan tuntutan balas budi.

2. Melawan malas bekerja dan tidak cocok dengan atasan dengan mindset ‘Tuhan adalah atasan kita’

Seberapa sering kamu merasa sudah berusaha ini itu tapi tidak membuahkan hasil? Aku tahu rasa frustasinya, merasa kadang apakah Tuhan tidak membantu kita atau kita yang terlalu payah.

Seberapa sering kamu dibimbing atasanmu sebelum akhirnya paham? Sekali? Dua kali? Kurasa aku tiga kali. Beberapa kali aku merasa aku lambat dibanding teman kerjaku. Pernah aku dimintai data A dan ternyata saat aku berikan, atasanku mengatakan sudah dikerjakan sendiri oleh beliau. Rasanya kecewa, karena aku merasa tidak berguna. Pengalaman ini bertahan beberapa lama, dan setiap kali atasanku memberi request tertentu, aku sudah memberi ekspektasi tambahan bahwa aku harus bisa memenuhi request itu. Kadang kala terpenuhi, kadang kala masih kurang.

Dua hal tersebut merembet kemana-mana. Pada waktu-waktu tertentu, aku merasa bahwa atasankulah yang memberi ekspektasi terlalu tinggi. Pada waktu-waktu tertentu, aku merasa kami tidak cocok karena kami tidak banyak ngobrol dan semua hal hanya tentang pekerjaan, berbeda dengan cara komunikasinya dengan rekan lain yang menurutku lebih ramah.

Kadangkala hal tersebut membuatku menjadi malas, suntuk, demotivasi, dan apa pun istilah itu. Pernah aku menunda untuk mengerjakan daftar pekerjaan yang seharusnya aku lakukan segera karena aku mengalami demotivasi. Saat itu, aku beruntung disadarkan bahwa sebenarnya bukanlah atasan yang harus kusenangkan, melainkan Tuhan yang sudah memberi pekerjaanku ini.

Walaupun aku tidak bisa bercengkerama tentang non-pekerjaan seperti rekan kerjaku yang lain kepada beliau, hal itu harusnya tidak menjadi fokusku. Fokusku haruslah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku dan menyelesaikan hal tersebut sebaik-baiknya seperti melakukan hal tersebut untuk Tuhan. Terkait usaha yang belum membuahkan hasil, fokusku haruslah bukan pada hasilnya, tapi pada usaha yang terus kulakukan secara konsisten dengan cara yang lebih baik dari hasil belajar yang terus menerus.

Tentulah penggalan dalam Kolose 3: 23 ini akan selalu menjadi pengingat:

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Memenuhi ekspektasi manusia tidak akan ada habisnya, dan ukuran keberhasilan menurut manusia bisa jadi berbeda beda dari waktu ke waktu, tapi Tuhan menetapkan standar yang adil dan sesuai untuk setiap anak-anakNya. Semoga kita mengerjakan tugas kita untuk mendapat perkenanan dari Tuhan dan bukan untuk menyenangkan hati atasan semata.

Sebagai penyemangat, mari kita mengingat kembali Lukas 16:10″:

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.  Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”

Mungkin ada pekerjaan tidak signifikan yang jika kamu lakukan hanya akan berdampak kecil dan tidak juga diperhatikan oleh atasanmu atau rekan kerjamu, tapi ingatlah, semua yang kita lakukan, kecil atau besar, tidak luput dari pandangan Tuhan, dan Ia adalah sebaik-baiknya Hakim yang menilai perbuatan kita.

3. Doa, usaha, dan harapan adalah jangkar untuk kita yang merasa tidak jago-jago amat dalam pekerjaan

Pernah aku berpikir harus bekerja berapa lama untuk benar-benar ahli di bidang pekerjaanku sekarang? Dan apakah aku harus benar-benar menekuni bidang ini sementara aku sering dibuat mual dan tersakiti. Namun, maksudku adalah kadang aku merasa mulai bisa di bulan ini, ternyata dengan kasus yang mirip di bulan depan, aku masih tetap butuh waktu untuk memahaminya.

Kadang ketika kulihat rekanku yang lebih jago, aku merasa tertekan. Kenapa ia bisa bertindak cepat, sementara aku masih bingung? Aku tahu bahwa rekan kerjaku sudah lebih lama dalam bidang ini, namun ekspektasi dari atasan dan dari diriku sendiri untuk tetap belajar lebih cepat menjadi hal yang menekanku. Sering aku mempertanyakan hal ini sampai aku sadar bahwa Tuhan pun tak memberikan patokan harus secepat ini atau harus secepat itu dalam bekerja, yang Tuhan minta adalah kemauan untuk terus belajar dan memperbaharui diri lebih baik dan terus menerus dari diri kita yang sebelumnya. Aku paham bahwa ada ekspektasi besar dari atasanku untuk dapat mengikuti ritme senior dan aku tahu betul bahwa mungkin rasanya kurang realistis, tapi aku melihat bahwa mungkin inilah kesempatanku untuk tidak mengandalkan kemampuanku tapi melihat Dia yang sudah memberi tanggung jawab itu.  Akhirnya untuk setiap perintah dan pekerjaan yang menurutku cukup mudah maupun susah, aku berdoa agar Tuhan memperlengkapiku untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas tersebut sesuai jangka waktu yang ditentukan, namun tetap kuberikan ruang ketika aku melewatkan satu dan dua hal, atau keliru di beberapa bagian karena aku tahu kesalahanlah yang memberikan kesempatan untuk kita terus belajar.

Aku percaya bahwa kepintaran bukanlah patokan satu-satunya untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Sering kurasakan pertolongan Tuhan yang membukakan jalan untukku mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. Dan semua hal tersebut selalu terjadi ketika aku mengawalinya dalam doa agar Tuhan yang menuntun. Kuasa Tuhan bekerja lebih misterius dari yang kita tahu, namun selalu mendatangkan hal baik bagi kita. Jika pada saat ini kita merasa belum mumpuni secara kemampuan teknis, mari adukan hal tersebut pada Tuhan dan percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikannya. Jika tugas dan pekerjaan itu baik bagi Tuhan, tentu Ia pun tidak ingin kita gagal dalam tugas dan pekerjaan tersebut.

4. Berjaga-jaga dalam kata dan tindakan

Terakhir, sebagaimanapun kita memandang positif dan menyenangkannya lingkungan tempat kita bekerja, aku selalu mengingat pandangan umum bahwa tembok kantor bisa berbicara. Sebenarnya, kita bisa memandang hal ini sebagai pengingat untuk tetap menjadi anak-anak terang. Mengambil nas dari 1 Timotius 4:12 yang mengatakan “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”, marilah kita terus mengeluarkan kata-kata yang tidak menghakimi dan condong ke arah tertentu, agar kita pun tidak menjadi pembicaraan di obrolan rekan kerja kita yang lain saat kita tak ada.

Pekerjaan adalah karunia Tuhan. Pekerjaan memberikan kita kesempatan untuk mencari penghidupan dan pembelajaran pribadi yang membuat kita bertumbuh.

Semoga untuk apapun kondisi pekerjaan yang sedang kita hadapi, kita menggantungkan harapan dan tekad kita hanya dalam Tuhan yang menjanjikan penyertaan-Nya kepada kita, baik di saat suka maupun duka.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Sofia lira Purba
    Sofia lira Purba says:

    sangat relate dengan kisah ku bedanya aku masih mahasiswa di jurusan teknik, aku sangat lamban dan susah dalam mengerti tugas² yang diberikan dosen. aku selalu merasa ketinggalan dari teman² ku yang lain. aku sampai berkata apa aku berhenti disini saja🥹. tapi setelah membaca ini aku kembali pulih dan harus lebih semangat lagi. GBU😇

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *