Melihat dan Mengalami Tuhan dari Luka yang Masih Membekas

Oleh Jefferson

Beberapa bulan yang lalu, aku menonton habis dua season pertama dari serial televisi yang sekarang menjadi salah satu favoritku, The Bear. Serial TV asal Amerika ini bercerita tentang koki muda bernama Carmy yang meneruskan restoran keluarganya. Terdengar sederhana bukan? Tapi, The Bear tidak cuma bercerita tentang sosok seorang koki, ada kisah yang menyentuh hati di baliknya. Izinkan kuceritakan sedikit.

Pada season pertama serial ini, Carmy pulang ke Chicago setelah kakaknya, Michael, meninggal. Kepulangannya cukup rumit karena hubungan Carmy dengan Michael tidak akur. Michael sering mengucilkannya dan melarangnya bekerja di restoran keluarga. Begitu lulus SMA, Carmy pun merantau dan belajar dari berbagai koki ternama untuk membuktikan dirinya kepada Michael. Apa daya Michael meninggal sebelum kesempatan itu datang. Namun, di akhir season pertama, Carmy mendapati bahwa kakak laki-lakinya itu sebenarnya ingin berdamai dan bekerja dengannya di restoran milik keluarga mereka.

Maka pada season kedua, The Bear menceritakan proses Carmy dan tim karyawannya merenovasi restorannya sesuai dengan visi yang pernah ia bagikan dengan Michael. Pada waktu bersamaan, Carmy bertemu dan mulai berpacaran dengan teman masa kecilnya, Claire. Bersama Claire, untuk pertama kalinya Carmy bisa bersantai di luar lingkungan dapur yang penuh tuntutan. Ia juga menemukan dukungan, hiburan, dan apresiasi dalam diri Claire. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Carmy menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Claire dan melalaikan tugas-tugasnya untuk renovasi restoran, termasuk lupa memperbaiki pintu kulkas dapur. Keteledoran Carmy mencapai klimaksnya pada episode penutup, di mana ia terkurung di dalam kulkas dapur pada malam pembukaan kembali restorannya.

Selama terperangkap di dalam kulkas, Carmy mulai panik dan memandang dengan negatif setiap keputusan yang diambilnya selama masa renovasi, termasuk hubungannya dengan Claire. Perenungan penuh penyesalan Carmy pun berakhir pada satu kesimpulan suram:

Aku adalah seorang psikopat! Itulah mengapa aku ahli dalam apa yang aku lakukan. Itulah cara aku bekerja. Aku adalah koki terbaik karena aku tidak memiliki hubungan dan semua omong kosong ini! Aku bisa fokus, aku bisa konsentrasi, aku memiliki rutinitas… […] Aku tidak perlu memberikan hiburan atau kenikmatan, aku tak perlu menerima hiburan atau kenikmatan, dan aku baik-baik saja tanpa semuanya itu, karena tidak ada hal baik apapun yang sepadan dengan betapa buruknya perasaanku sekarang. Itu semua hanya buang-buang waktu saja.

Belajar dari tokoh Carmy, tapi dalam terang Firman

Sehabis menonton episode di atas, aku menemukan diriku tak bisa tidak berempati dengan Carmy. Kali ini aku berempati dengan Carmy dari segi hubungan kami dengan orang lain. Sebenarnya aku bukanlah orang yang bisa berteman dengan mudah. Luka-luka masa kecil dan remajaku (yang pernah aku bagikan dalam beberapa tulisan) membuatku tak biasa diperhatikan dan dikasihi orang lain. Alhasil, ketika merenungkan kesimpulan Carmy di dalam kulkas dapur, aku berhipotesis bahwa aku pun adalah seorang “psikopat”; aku menjauhkan diri dari orang-orang terdekatku ketika aku perlu fokus mengerjakan panggilanku, yang ironisnya adalah masa-masa di mana aku justru paling membutuhkan mereka.

Hipotesa ini sempat membuatku stres, apalagi karena aku memasuki periode sibuk di paruh kedua tahun ini: penerbitan hasil proyek risetku, beberapa perjalanan ke luar kota dalam rangka pelayanan, dan pelaksanaan sejumlah tanggung jawab dalam pelayanan baruku di gereja. Di tengah segala kesibukan itu, aku jadi takut kalau aku akan mendorong jauh-jauh orang-orang terdekatku dan melukai mereka demi aku bisa fokus total. Merasa tak berdaya memproses kemungkinan ini sendirian, aku meminta bertemu dengan mentorku di rumahnya. Di sana, aku menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan dalam hidupku, termasuk perenunganku atas kesimpulan Carmy.

Setelah mendengarkan ceritaku, mentorku menegaskanku bahwa aku telah jadi orang yang berbeda sejak kali terakhir kami bertemu. Dia menjelaskan pengamatannya bahwa setelah mengalami sendiri luka-luka itu, aku mampu mengambil pelajaran darinya.

Sepulang dari bertemu mentorku, aku terhenyak dalam rasa syukur kepada Kristus yang tak membiarkanku larut dalam keputusasaan akibat masa laluku yang kurang baik. Sebaliknya, Tuhan Yesus menunjukkan dalam Firman-Nya bahwa orang-orang seperti Carmy dan aku bisa melenyapkan ketakutan kami di dalam kasih-Nya dan memberi ruang bagi orang-orang terdekat kami di tengah kesibukan kami. Pelan-pelan, aku mengingat ayat-ayat Alkitab yang mengingatkan aku tentang kebenaran-kebenaran Tuhan Yesus yang telah mati dan bangkit untuk menebus orang berdosa, seperti Roma 8, Ibrani 10:24–25, dan 1 Korintus 15:10. Yang paling berkesan di antara perikop Firman Tuhan yang aku ingat malam itu tercatat dalam 1 Yohanes 4, yang kemudian aku ingat dan renungkan kembali setiap kali aku merasa seperti terkurung di dalam kulkas dapur bersama Carmy:

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan siapa yang takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”

Ya, aku punya luka-luka yang mungkin masih membekas, tapi Yesus Kristus telah mengasihi aku lebih dulu, bahkan mati dan bangkit sebagai bukti kasih-Nya padaku dan semua orang yang percaya kepada-Nya. Ketakutanku pun lenyap. Aku dapat menjalankan panggilan-Nya dalam kasih dan dukungan orang-orang terdekatku sambil terus mengasihi mereka dengan kasih-Nya.

Penutup: sampai Anak Domba menggantikan matahari

Dalam terang kemuliaan Kristus, segala hal di dunia ini – termasuk serial TV, tokoh fiksi, dan pengalaman kehidupan kita – menunjuk kepada Dia yang telah menebus mereka demi kemuliaan-Nya dan sukacita kita. Jalan-jalan sinar dari hidup yang ditilik terang Firman ini tidak selalu jelas dan lurus, malahan mereka lebih sering tersembunyi dan berliku-liku. Walaupun begitu, tempat tujuan akhir dari jalan-jalan ini tidak asing bagi mereka yang hidup ditilik oleh Firman Kristus. Alkitab dengan konsisten melukiskan masa depan para pengikut Kristus dan seluruh ciptaan di langit dan bumi yang baru yang diterangi langsung oleh sang Anak Domba Allah sendiri:

Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup sepanjang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. (Wahyu: 21:23–26)

Dalam kasih anugerah Allah, aku berdoa supaya kita setia memberikan segenap hidup kita ditilik Firman sampai Anak Domba menjadi terang kita langsung dan kita melihat-Nya muka dengan muka (1 Kor. 13:12).

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
3 replies
  1. Luspintje Sumbaluwu
    Luspintje Sumbaluwu says:

    lagi dalam perenungan yang panjang sampai ada Roh Kudus yang mengarahksn untuk baca artikel ini. Terima kasih sudah sangat memberkati dalam sharingnya

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *