Kebenaran yang Memerdekakan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Win, gimana? Udah rampung persiapan 17-annya?” tanyaku pada Winda yang baru memasuki ruang guru. Sekolah sudah sepi. Beberapa murid Paskibra yang terakhir kali kulihat masih mempersiapkan upacara HUT RI besok, sudah pulang sepuluh menit lalu. 

Aku sengaja menunggu Winda, kami sudah ada jadwal jam doa sore ini. Winda tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya mengangguk, mendekati meja kerjanya, bersiap untuk pulang.

Tiba-tiba, seorang anak dengan pakaian pramuka muncul dari balik pintu. “Tok…tok..”,  suara dari buku-buku jarinya yang mengetuk pintu kayu. “Miss,” sapanya lembut.

“Hei, Cathrine,” jawabku sambil beranjak mendekatinya. “Kenapa? Kok belum pulang?”

Rupanya dia ingin meminta tolong untuk kami menghubungi orangtuanya agar dijemput di sekolah. Jadilah kami akhirnya menungguinya hingga dijemput.

Sambil menunggu, tiba-tiba Cathrine bertanya hal yang menurutku cukup random. “Miss, apa sesungguhnya arti merdeka?” Aku dan Winda saling berpandangan. Tidak tahu siapa yang harus menjawab pertanyaan ini. “Kamu aja Win yang jawab,” pintaku dengan suara kecil.

Winda hening sejenak. Otaknya berpikir, mencari-cari jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan random ini. 

“Merdeka itu bebas dari penjajahan. Kita yang awalnya diperbudak oleh bangsa lain, berjuang dan berusaha untuk melepaskan diri dari perbudakan itu. Dan kita berhasil.” Winda berhenti sejenak untuk memastikan apakah ocehannya ini bisa dipahami atau tidak. Dilihatnya Cathrine yang memasang wajah penuh perhatian. Maka, dilanjutkanlah jawabannya, “…sehingga orang-orang yang pada masa itu memperjuangkan kebebasan kita, kita sebut pahlawan. Dan kita akhirnya disebut bangsa yang merdeka. Bangsa yang bebas dari penjajahan. Sekarang saatnya kita menumbuhkan rasa nasionalisme dengan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif.” Jawab Winda dengan jelas, dia memang guru mata pelajaran PKn.

Cathrine mengangguk-angguk, lalu kembali bertanya-tanya hal lain.

Aku tersenyum sendiri melihat antusiasnya Cathrine, teringat dulu juga aku pernah menanyakan hal yang sama kepada guru agamaku di sekolah.

“Apa artinya dimerdekakan dari maut, Bu?” 

Waktu itu aku belum mengerti seutuhnya apa arti pertanyaan itu, apalagi jawaban yang diberikan oleh guruku saat itu. Baru saat mengikuti pembinaan rohani di kampus, seorang kakak pembimbing rohani membantuku untuk belajar memahaminya.

“Apa yang lebih urgent dari: Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, atau merdeka dari perbudakan? Ya, merdeka dari dosa. Karena upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah adalah hidup yang kekal di dalam Kristus Yesus bagi kamu! katanya tegas dan mantap.

Kemudian ia melanjutkan, “Bagaimana kita dapat dimerdekakan dari maut? Ya hanya ada satu Jalannya; yaitu Dia yang tidak berkuasa atas maut itu sendiri. Dia yang mengaruniakan keselamatan itu melalui diri-Nya sendiri, Dia yang adalah satu-satunya Jalan dan Kebenaran. Dialah Yesus Kristus.”

Aku tidak merespons apa-apa waktu itu. Karena pembicaraan itu terasa terlalu teologis bagiku—mahasiswa baru yang kala itu hanya ikut-ikutan kelompok pembinaan ini. Sekaligus aku heran, mengapa kakak pembimbing rohaniku yang adalah mahasiswa senior di bidang sains, bisa memaparkan hal teologis seperti itu dengan sangat baik? Bukannya harusnya itu hanya dapat disampaikan oleh orang-orang dengan jurusan teologi, atau bahkan hamba-hamba Tuhan di mimbar gereja?

Seiring aku mengikuti kelompok pembinaan, pendalaman Alkitab, dan kelas-kelas studi Alkitab, aku pun menyadari bahwa ternyata memahami iman dengan serius bukan hanya tugas para pelayan Tuhan penuh waktu saja. Aku sebagai orang awam memerlukannya, begitu pun orang lain. Karena ternyata hal-hal teologi bukan saja tentang menggali tafsiran Alkitab, sejarah, doktrin, dll, yang sering kali terasa membosankan, tapi yang utama adalah bagaimana kita semakin hari belajar memiliki pengenalan yang benar akan Allah.

Semua orang perlu mendengarkan bagaimana kemerdekaan dari maut itu diperoleh.

Seperti sekarang, ternyata aku sudah ikut nimbrung ke percakapan Cathrine dan Winda. Tidak terasa sudah ikut menyampaikan tentang Sosok Pribadi yang memerdekakan itu.

“Jadi kita menyebut Yesus juga pahlawan ya, Miss? Karena Dia sudah memerdekakan kita dari upah dosa?” tanya Cathrine.

Aku tersenyum, “Juruselamat. Kita menyebut-Nya Juruselamat, Cathrine. Satu-satunya Jalan dan Kebenaran dan Hidup.”

Cathrine mengangguk-angguk. Lalu kemudian dia berpamitan karena sudah dijemput Mamanya. 

“Miss, besok-besok saya ingin mendengar lagi cerita tentang Juruselamat kita itu ya, Miss. Nanti saya ingin bisa menceritakannya ke teman-teman saya.” Katanya riang sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Aku dan Winda tersenyum, ikut beranjak ke parkiran. Hari sudah sore, matahari masih terasa hangat. Sehangat suasana hati kami saat ini.

“Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8: 31-32).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *