Mengasihi Pergumulanmu sebagai Musuh dan Sahabat

Oleh Christan Reksa

Sebagai seseorang yang pernah memiliki kondisi mental bernama depresi klinis, aku tahu betapa dalamnya jurang kekelaman ketika keinginan-keinginan ingin menyerah dan mengakhiri hidup begitu kuat. Namun, syukur kepada Allah! Keadaanku kini telah jauh lebih baik, tinggal merawat gejala-gejalanya saja dengan konsumsi obat dan terapi pribadi teratur.

Meski begitu, dalam hati masih terselip rasa kesal dan amarah terselubung, sebab sejak 10 tahun lalu sampai sekarang aku masih tetap harus menenggak antidepresan sesuai preskripsi dokter spesialis kesehatan jiwa. Ketika terkadang aku merasa sudah benar-benar pulih, gejala-gejala itu datang lagi pada saat-saat genting sebagai momok yang amat mengganggu.

Terkadang aku berucap dalam doa, mengapa depresi ini tidak hilang-hilang? Kapan aku akan bisa benar-benar sembuh? Kapan aku bisa lepas dari obat dan terapi? Kapan relasi memuakkan dengan depresi ini bisa benar-benar aku lepaskan?

Sungguh, hidup dengan depresi, walau tidak dalam tahap berat lagi, itu amat menyebalkan. Kamu harus siap sewaktu-waktu dengan momen “kumat” dan “meledak” yang bisa mengacaukan harimu. Kamu harus berhadapan dengan mood yang bisa tiba-tiba amat terpuruk karena kejadian-kejadian kecil yang memancing memori tubuhmu pada momen yang traumatis. Kamu harus berjaga-jaga supaya kondisi-kondisi tidak ideal itu tidak hadir pada kesempatan-kesempatan penting di hidupmu.

Singkatnya, kamu akan melihat depresi sebagai musuh yang harus kamu kalahkan, tapi seolah-olah Tuhan menghendakimu untuk bersahabat dengan depresi.

Rasanya membingungkan, bukan? Namun, kurasa ini juga terjadi pada berbagai kelemahan yang harus kita hadapi sepanjang hidup. Sebagian dari kita bergumul dengan disabilitas fisik maupun mental. Sebagian dari kita berjuang menghadapi relasi dengan keluarga, kerabat, atau sahabat yang rapuh dan membebani. Sebagian dari kita pun berupaya menuntaskan kewajiban-kewajiban yang memberatkan hidup, seperti utang, proses pemulihan penyakit, bahkan sampai yang terlihat remeh seperti harus menyelesaikan sekolah, kuliah, skripsi, tesis, dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak kita sukai.

Aku yakin kita ingin memusuhi kelemahan, pencobaan, dan penderitaan itu.

Namun, bagaimana jika Allah ingin kita menyahabatinya?

Berhadapan dengan Salib dan Duri dalam Daging

Kita semua tahu pentingnya belajar memahami ucapan Yesus pada Matius 16:24, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Dalam konteks ketika Yesus memberitahukan murid-murid-Nya tentang penderitaan-Nya dan syarat-syarat mengikuti Dia, ini tentu mengagetkan murid-murid. Ada perjuangan, darah, keringat, dan air mata yang harus dihidupi dan dijalani. Yesus menyebutnya sebagai salib.

Kelemahan, pencobaan, dan penderitaan kita bisa jadi adalah salib kita masing-masing, yang harus kita perlakukan sebagaimana Tuhan kehendaki. Sesuatu yang bisa jadi amat menyakitkan kita dan ingin kita buang jauh-jauh dari hidup kita saja.

Tapi, tak ubahnya keluhan Paulus terhadap Tuhan tentang duri dalam dagingnya (2 Korintus 12:7), Tuhan bisa jadi dengan keras menjawab seperti dalam 2 Korintus 12:9, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”

Sungguh wajar untuk menggerutu, marah, menangis, dan memohon supaya segala kesakitan ini segera bisa diakhiri, kalau bisa dengan akhir yang bahagia. Namun, Allah Sang Misteri bekerja dengan cara-cara tak terselami.

Lalu, kita bisa apa? Apakah kita harus melihat pergumulan-pergumulan kita sebagai musuh yang harus ditaklukkan, ataukah sejatinya kita bisa saja, mungkin secara ajaib, menyahabati mereka?

Satu respons yang Tuhan tekankan kepada kita: kasih.

Mengasihi sebagai Musuh

Hukum kasih sudah begitu familiar dalam kehidupan Kekristenan kita. Pada Matius 22:37-40, Tuhan Yesus mereferensikan Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18 saat mendaraskan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Inilah yang menjadi panggilan kita dalam hidup bersama Allah, sesama ciptaan, dan diri sendiri; mengasihi siapapun dan apapun, dengan teladan Allah yang telah mengasihi kita lebih dulu.

Ya, siapapun dan apapun, termasuk siapapun dan apapun yang kita benci bahkan kita musuhi. Dan terkadang, musuh itu adalah diri kita sendiri ataupun pergumulan berat yang tak kunjung lewat.

Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengungkapkan postur kasih yang begitu radikal dan tidak kita temui dalam ideologi lainnya. Matius 5:44-45 mencatat, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”

Sikap ini menggugat apa yang diucapkan di satu ayat sebelumnya (Matius 5:43), untuk mengasihi sesama dan membenci musuh. Dalam hal ini, panggilan Yesus adalah mengasihi secara radikal dalam anugerah-Nya.

Ketika kita pun berhadapan dengan diri sendiri sebagai musuh, bagaimana kita bisa mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri?

Terkadang, jawabannya memang sesederhana, dan serumit, untuk sementara mengasihi diri sendiri beserta pergumulan-pergumulannya sebagai musuh.

Itu juga perjuanganku bersama depresi. Berkali-kali aku melihat depresi sebagai musuh, utamanya pada awal-awal diagnosis, depresi terus merongrong dan merusak hidupku. Baru ketika aku belajar mengasihi depresi, aku mulai memperlakukan diriku dengan cara yang berbeda. Meskipun ada mendung pekat, tapi aku mampu melihat matahari di baliknya. Perubahan cara pandangku itu menolongku untuk mengasihi dan merawat diriku.  Aku belajar rutin minum obat, bertobat dalam sikap hati, dan menggali akar depresiku. Dari situlah aku mulai pulih pelan-pelan, untuk mengasihi diri sendiri dulu untuk kemudian berani berbagi kerapuhan dengan orang-orang terdekat dan orang asing sekalipun ketika Tuhan berikan kesempatan. Depresiku pelan-pelan kujadikan “sahabat” dan kukasihi. Aku percaya Tuhan akan ambil segala kelemahan ini hanya ketika Dia sungguh berkehendak dan melihatku sudah selesai berproses dengannya.

Mengasihi sebagai Sahabat

Tema persahabatan menjadi poin yang penting dalam pembahasan di Alkitab. Tema ini paling kuat bersuara dalam Yohanes 15:9-17, ketika Tuhan Yesus memberikan perintah untuk saling mengasihi, dengan poin terkuat pada ayat 13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Yesus tidak lagi menganggap kita hamba, bahkan musuh. Dia melihat kita sebagai sahabat. Sedemikian dalam pandangan Yesus dalam menyahabati kita manusia berdosa ini, sehingga Dia bersedia memberikan nyawa-Nya di kayu salib, dan bangkit serta naik ke surga, menghadirkan Roh Kudus untuk menemani langkah-langkah kita di hari ini.

Sang Kristus menyahabati kita bahkan dalam kejatuhan terdalam manusia. Rezim dosa dan maut ditaklukkan-Nya, semata karena kasih-Nya yang agung untuk menyahabati kita.

Atas anugerah persahabatan yang menjadi inisiatif Allah inilah, kita pun dipanggil untuk pelan-pelan menyahabati diri dan sesama, bahkan yang untuk saat ini dianggap musuh bebuyutan.

Keberdosaan kita menyebabkan kasih kepada musuh itu amat sulit, apalagi untuk menyahabati yang kita anggap musuh. Namun demikian, kita bisa mulai untuk mencoba menyahabati diri sendiri dan pergumulan-pergumulan menyebalkan yang menjadi kompleksitas hidup kita. 

Mulailah dengan bersahabat dan menamai musuh terdalam diri sendiri. Mungkin itu adalah kondisi pribadi yang menjadi “duri dalam daging”. Mungkin itu adalah konflik tak terselesaikan yang terus menghantui pikiran kita. Mungkin ada rasa bersalah dalam diri maupun kesalahan fatal orang lain yang tidak bisa kita ampuni dan perdamaikan sampai sekarang. Mungkin ada dengki yang enggan kita akui. Mungkin ada kemarahan terhadap struktur yang menindas dan mengisap kita dari semangat hidup.

Rangkullah kebencian-kebencianmu, letakkan dalam doa, bila perlu beserta tangisan dan amarah, kepada Allah. Izinkan Dia mengubahmu dan pergumulanmu pelan-pelan. Dari musuh yang dibenci, menjadi musuh yang dikasihi, menjadi sahabat yang dikasihi, sampai akhirnya Dia sungguh-sungguh melihatmu sudah cukup menjadi hamba yang setia dengan pergumulanmu dan memulihkan kerapuhan-kerapuhanmu, entah di dunia sekarang ataupun di langit dan bumi yang baru.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *