Memikirkan Kembali Konsep Belahan Jiwa

Oleh Bima Anugerah

Beberapa waktu lalu, sempat viral tren postingan National Couple Day yang meminta pengguna Instagram untuk post your other half. Bagi mereka yang sudah memiliki pasangan, tren ini menarik untuk diikuti—entah untuk secara tulus mengapresiasi pasangan mereka atau hanya sekadar menunjukkan bahwa mereka sudah punya pacar.

Namun, tak semua pengguna media sosial punya pasangan. Aku sendiri pun masih lajang, dan ketika para lajang melihat story-story demikian mungkin akan muncul semacam pertanyaan, “Kapan ya aku punya pacar?” Sebagai seorang lajang yang suka belajar teologi, aku mulai memikirkan kalimat post your other half dari tren ini. Aku bertanya, “Apa memang aku diciptakan dengan ‘other half’ yang perlu aku cari?” Jika sekarang aku belum menemukannya, apakah aku hanya “setengah manusia”? Waduh, jika benar berarti betapa malangnya hidup lajang yang aku jalani ini dong?

“Other half”

Istilah “other half” bukan hanya dibawa oleh tren yang viral akhir-akhir ini. Seorang penulis buku bernama Kutter Callaway, dalam bukunya Breaking the Marriage Idol: Reconstructing Our Cultural and Spiritual Norms, pun menangkap ide serupa pada lagu-lagu yang sering didengarkan anak muda. Misalnya, lagu Taylor Swift yang berjudul Blank Space membawa ide tentang manusia yang begitu merindukan cinta (baca: other half).

Dalam lirik lagunya, Swift menuliskan Got a long list of ex-lovers.” Alih-alih menghentikan pencarian cinta yang membuatnya memiliki daftar panjang “mantan,” Swift menambahkan, But I’ve got a blank space, baby. And I’ll write your name.” Melalui lagu ini, aku melihat betapa Switf ingin menekankan cinta romantis sebagai sebuah keharusan dalam hidup ini. Sampai-sampai kalau hatinya lagi “kosongan” nih, hal yang segera dilakukan seseorang adalah mencari orang lain untuk mengisi blank space tersebut.

Jika berpasangan adalah sebuah keharusan, maka sepertinya other half akan terasa sebagai istilah yang tepat. Aku nggak bakal utuh tanpa orang lain yang menjadi other half dari diriku. Apalagi, sepertinya dunia menawarkan narasi yang sama tentang ini. Namun, aku menemukan satu hal yang membuatku tidak bisa menerima ini.

Juruselamatku tidak punya pacar!

Dalam teologi Kristen, kita meyakini bahwa Yesus adalah Allah sejati, sekaligus manusia sejati. Maka, standar manusia sejati yang sesungguhnya harus kita lihat ada di dalam diri Yesus Kristus, Tuhan kita.

Jika memang other half adalah pelengkap hidup yang tidak utuh ini, maka betapa malangnya Tuhan Yesus yang tidak pernah pacaran, apalagi menikah. Namun, apakah Tuhan Yesus gagal menjadi manusia sejati? Apakah Dia tidak utuh?

Tentu, Yesus adalah manusia sejati! Bahkan Dia adalah manusia sempurna tanpa dosa (1 Ptr.2:22). Karena Dia adalah manusia sejati, maka Dia bisa dengan sempurna menggantikan hukuman yang seharusnya dijatuhkan untuk manusia berdosa (bdk. Fil. 2:7-8). Jika Yesus yang adalah manusia sejati tidak punya pacar maka, maka kita perlu memikirkan ulang makna dari istilah yang baru-baru ini viral. Apakah other half itu adalah ajaran Kristen? Jika tidak, apa yang diajarkan Alkitab? Alih-alih menjadikan pasangan untuk membuat kita menjadi manusia utuh, Alkitab mengajarkan kita melihat kepada kehidupan Yesus untuk menjadi utuh.

Menjadi utuh ala Yesus

Meminjam pemikiran Anthony Hoekema, setidaknya ada 3 aspek penting dari menjadi manusia yang sejati ala Yesus. Pertama, manusia sejati adalah manusia yang hidup dalam relasi yang benar dengan Allah. Artinya, seluruh kehidupan kita terarah pada Allah (Mrk. 12:30).

Kehidupan yang terarah pada Allah ini dinyatakan dengan jelas dalam kehidupan Yesus. Yesus menunjukkan ketaatan pada Bapa ketika Ia dicobai oleh Iblis (Mat. 4:7-11) dan melalui kehidupan yang diabdikan untuk melakukan pekerjaan Bapa (Yoh. 4:34).

Kedua, manusia sejati hidupnya terarah pada sesama. Melalui kehidupan-Nya di dunia, Yesus menyatakan kasih kepada manusia. Yesus berkata bahwa Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mrk. 10:45).

Ketiga, manusia sejati adalah manusia yang berkuasa atas alam. Namun, alih-alih merusak alam sebagaimana dilakukan oleh beberapa oknum manusia, Yesus menunjukkan kekuasaan-Nya atas alam dengan penuh cinta kasih. Artinya, memelihara ciptaan yang sudah Tuhan berikan kepada kita adalah aspek penting menjadi manusia sejati.

You are complete!

Melalui kehidupan Yesus, kita belajar bahwa menjadi manusia sejati tidak berbicara tentang ada atau tidaknya pasangan. Alih-alih melihat pasangan sebagai sesuatu yang esensial, Alkitab mengajak kita untuk memikirkan relasi kita dengan Allah, sesama, dan alam sebagai 3 aspek esensial menjadi manusia yang utuh.

Lalu, bagaimana dengan Kejadian 2:18 yang mengatakan bahwa tidak baik manusia seorang diri saja? Apakah ini mengindikasikan keharusan akan pernikahan? Jawaban Hoekema menarik untuk direnungkan, “Tetapi, semua ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan hanya seorang yang menikah yang bisa mengalami arti menjadi manusia sejati dan penuh … pernikahan memang menyatakan dan mengilustrasikan polaritas dan saling kebergantungan relasi laki-laki dan perempuan dan laki-laki secara lebih utuh, tetapi ini tidak bersifat eksklusif. Yesus sendiri, Manusia ideal, tidak pernah menikah.” (Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, hal. 99).

Menikah tetaplah hal yang baik, yang tidak baik adalah pemahaman sempit akan pernikahan. Callaway memberikan pendapat yang baik, But at no point have I suggested that marriage is unimportant, or that it would be better for Christians not to marry. I have simply said that marriage should not be the norm … In other words, what I have called into question is the normative picture of marriage that holds the contemporary church’s imagination captive, not marriage itself … my goal has not been to devalue or denigrate marriage, but actually to elevate and expand our view of marriage by recalibrating and reframing it. (Breaking the Marriage Idol, hal. 160-161).

Jika Tuhan mengaruniakan kepada kita panggilan pernikahan, maka menikahlah untuk kemuliaan Tuhan. Jika memang Tuhan memanggilmu untuk hidup tanpa pasangan, selagi tujuannya adalah untuk kemuliaan Allah, maka hiduplah sendiri. Kedua-duanya adalah hal yang baik.

Maka, other half sebenarnya hanyalah mitos belaka. Kita tidak pernah ditakdirkan untuk hidup tidak utuh tanpa pasangan. Kita bisa saja punya pasangan di dalam hidup ini dan menjadi tidak utuh karena kita mengabaikan 3 aspek manusia sejati tersebut.

Jika sekarang kita merefleksikan kehidupan kita, apakah kita sudah memiliki relasi yang benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan? Apakah kita menaruh keutuhan hidup kita melalui adanya pasangan di dalam hidup kita?

Aku pun tidak luput dari jebakan pasangan ini. Aku pun bergumul untuk tetap melihat kepada Tuhan sebagai satu-satunya pemuas kehidupanku. Namun, kiranya tulisan ini kembali mengingatkan kita bahwa keutuhan sejati hanya ditemukan di dalam Kristus, Sang Manusia Sejati itu. Kembalilah dalam pelukan kasih-Nya yang tidak pernah mengecewakanmu.

Ikut tren tersebut sah-sah saja menurutku. Namun, sebagai seorang Kristen, kita perlu memiliki pemikiran kritis terhadap apa yang kita tampilkan di media sosial. Kiranya tulisan ini bisa membantumu ya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
9 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *