Daripada Insecure, Mending I’m Sure

Oleh Nadia Rhema, Malang

“Jangan pilih aku deh, aku ngga bisa mending yang lain aja;

Kok dia bisa ini itu ya sementara aku kayak ngga bisa ngelakuin apa-apa dan masih banyak lagi.”

Pernahkah kalian berpikir demikian dalam hidupmu? Jika pernah, kamu tidak sendirian 🙂

Selama bertahun-tahun aku tumbuh dengan pikiran-pikiran buruk yang terus berputar di otak seperti mantra yang menahanku bergerak atau mencoba hal baru. Parahnya, pikiran-pikiran ini juga sempat membuatku menyalahkan Tuhan dan memandang segala sesuatu jadi negatif. Apa pun masukan atau dorongan semangat dari orang lain, selalu kumentahkan dengan kalimat ini: “Aku memang gini! Mau gimana lagi?!”

Suara-suara sumbang dalam pikiranku itu tidak muncul tiba-tiba. Semua bermula dari adanya pemusatan pada ekspetasi-ekspetasi yang tidak dapat aku penuhi kepada diri sendiri sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar yaitu ekspektasi untuk menjadi juara kelas, mendapatkan nilai yang baik dalam mata pelajaran tertentu, dan jarang sekali terpilih dan terlibat dalam perlombaan baik akademis maupun non-akademis. Pada waktu itu aku hanya memiliki teman yang sangat sedikit dan yang ada di pikiranku adalah harus menjadi “orang yang hebat, yang pinter, yang aktif” untuk mempunyai banyak teman. Kegagalan demi kegagalan, masukan dan kritik orang lain membuatku semakin terpuruk.

Di tengah segala kondisi kebimbangan, keraguan dan pertanyaan yang ada, pada awalnya aku cenderung menyimpan semuanya sendiri dan berusaha melupakannya. Menganggap yang sudah terjadi biarlah berlalu begitu saja dan tidak merasa itu adalah sebuah permasalahan berarti. Tetapi, ternyata aku salah dan semua itu terjawab dan terbuka ketika aku memutuskan untuk mendaftar studi lanjut di sekolah Teologi yang harus melewati wawancara dan salah satu syarat setelah diterima adalah mengikuti konseling wajib. Setelah masuk kuliah, aku memulai konseling tersebut dengan seorang konselor. Tidak pernah terbayang sebelumnya untuk bercerita dengan konselor karena aku merasa orang lain tidak perlu tahu. Kuanggap wajib konseling ini cuma sebagai perintah saja. Namun, setelah beberapa waktu aku menyadari bahwa Tuhan memakai orang-orang-Nya, yaitu salah satu konselor untuk menolongku. Aku perlahan mulai terbuka dan menceritakan apa yang aku rasakan karena katanya keterbukaan adalah awal dari pemulihan, walaupun harus melalui tangisan air mata.

Setelah beberapa kali pertemuan dan cerita yang ada, ada satu masa di mana konselorku sampai geleng-geleng kepala ketika aku menceritakan semua ke-insecure-anku, betapa melekatnya perasaan tersebut selama berpuluh tahun dan itu sangat memberatkan. Melalui konselor tersebut, hal ini menjadi salah satu cara Tuhan untuk aku disadarkan bahwa selama ini aku memakai kacamata yang salah dan ternyata ada banyak hal positif yang Tuhan tanamkan dan berikan di hidupku, tetapi aku terlalu berfokus pada apa yang nampaknya buruk ketimbang yang baik.

Konselor tersebut berkata kepadaku “Nad, ada banyak konsep diri kamu yang keliru dan membuat kamu menjadi seperti sekarang. Tetapi ini bukan sepenuhnya salah kamu karena banyak hal yang sudah kamu lalui. Kita kerjasama bareng ya supaya perlahan konsep diri kamu bisa diluruskan dan semakin melihat bagaimana Tuhan mengasihi kamu sepenuhnya. Setelah itu konseling dilakukan cukup rutin yaitu seminggu sekali.

Bersyukur kepada Tuhan melalui konseling, perenungan pribadi, pemulihan relasi, dukungan orang tua, melalui diskusi dengan orang-orang terdekat, melalui khotbah-khotbah yang didengarkan, aku semakin menyadari bahwa Tuhan terus berproses denganku. Tuhan juga memberikan banyak kesempatan untuk aku berlatih keluar dari zona nyaman seperti pelayanan, bergabung dalam organisasi di kampus, kepanitiaan dan banyak hal lainnya untuk aku belajar menjadi lebih baik hari demi harinya. Aku juga diingatkan melalui sebuah lagu yang liriknya seperti ini  Sedikit demi sedikit, tiap hari tiap sifat Yesus mengubahku. Dia ubahku. Sejak ku kenal Dia, hidup dalam anugerah-Nya. Yesus mengubahku. Dia ubahku. O Juruslamat, ku tidak seperti yang dulu lagi, Meskipun nampak lambat, Namun ku tahu, ku pasti sempurna nanti.”

Sekarang aku mau belajar dan aku mengajak kamu semua yang mungkin masih terjebak dalam isu ke-insecure-an untuk mengubah mindset: daripada insecure mending i’m sure.

I’m sure? About what? About:

  • I’m sure that I’m a child of God: Kita semua adalah anak-anak Allah yang sangat dikasihi dan diciptakan segambar dan serupa dengan-Nya. Galatia 3:26 berkata “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus”. Sekalipun mungkin orang-orang tidak menganggapmu, Tuhan tidak pernah melupakanmu.
  • I’m sure that God loved me: Kita punya Allah yang sangat mencintai kita sampai-sampai Ia memberikan anak-Nya yang tunggal yaitu Tuhan Yesus untuk mati di atas kayu salib menebus setiap kita manusia yang berdosa dan memperdamaikan kita dengan Allah (Yohanes 3:16). Dia mengasihi kita apa adanya tetapi Ia tidak ingin membiarkanmu seadanya.
  • I’m sure that God isn’t done with me yet: Perasaan insecure mungkin nggak akan hilang secepat itu tetapi ingatlah bahwa Tuhan sedang dan terus berproses bersamamu. Tuhan tahu kapasitas dan porsimu. Dia mengetahui kebutuhanmu, kegelisahanmu, dan kerinduanmu. Dia mau menjadikan kita manusia yang tidak berfokus pada apa yang kita bisa, tetapi berfokus pada apa yang Tuhan bisa kerjakan melalui hidupmu. Tuhan bisa melakukan banyak hal dengan berbagai cara, yang penting adalah apakah kita mau berusaha dan terus bergantung kepada-Nya. 

Ibrani 13:6: “Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
5 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *