Tiada Kepuasan di Tempat yang Salah

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang mengerjakan sesuatu di laptop, aku iseng membuka banyak folder di tahun 2019. Kutemukan hasil tangkapan layar, sebuah kutipan dari Pdt. Stephen Tong, begini bunyinya: Kita perlu menyeleksi segala sesuatu yang kita kerjakan, yang tidak bermakna kita tolak. Sebenarnya banyak hal yang tidak perlu dibaca, banyak film yang tidak perlu ditonton, banyak musik yang tidak perlu didengarkan, dan sebagainya. Dengan demikian kita telah menghemat banyak uang dan waktu. Sebab, waktu kita tidak banyak.”

Kutipan itu menohokku. Kulihat lagi perjalanan di belakangku, waktu-waktu yang sudah dilewati dan kesempatan-kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Aku jadi bertanya buat diriku sendiri: Apa yang sudah kukerjakan? Apakah waktu yang kurang lebih lima bulan di awal tahun ini sudah kugunakan dengan baik? Apakah setiap rupiah yang Tuhan anugerahkan memang dipakai untuk hal-hal yang tepat? Apakah ternyata waktu dan uang yang ada malah terpakai untuk mengejar sesuatu yang tidak bermakna? Tak dapat dipungkiri, hasrat atau keinginan kita untuk mengejar setiap peluang dan pengalaman baru serta barang-barang baru memang nyata.

Di zaman yang semakin maju di mana teknologi semakin canggih, setiap hari kita terpapar berbagai informasi terbaru. Masing-masing kita memiliki akun dari setiap jenis media sosial dan setiap hari pula kita mengerahkan waktu, daya, dan dana untuk menyelami mereka semua. Ada sesuatu yang kita rasa hilang dalam diri jika kita tidak ikut serta dalam sebuah ke-baru-an. Lebih tepatnya: kita takut ketinggalan! Kita mengalami FOMO! Sungguh ironi jika kita yang mengaku diri sebagai orang Kristen juga ikut disetir dan hanyut dalam fenomena tersebut.

Mari sejenak kita merenungkan hal ini: mengapa sikap tidak ingin ketinggalan itu bisa timbul? Mengapa keinginan untuk mengetahui segala sesuatu itu mendesak kita? Mengapa kita begitu mudah terpengaruh mengikuti sesuatu yang katanya “booming” dan “viral”? Karena, setiap kita memiliki hasrat ingin diterima di mana kita berada, keinginan supaya tidak dianggap “membosankan”, keinginan untuk memperoleh pengakuan bahwa kita tahu cara untuk bersenang-senang, dan desakan untuk merespons YOLO: you only live once…”. Atau, bisa jadi adanya ketidakpuasan yang sulit kita akui.

Lalu, sebagai orang Kristen, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?

1. Menyadari kembali akibat dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa

Rasul Paulus, dalam sebuah suratnya kepada jemaat di Roma, menyampaikan nasihat, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).

Kita tidak boleh lupa bahwa sesungguhnya dunia di mana kita tinggal, setiap sisi dari aspek kehidupan kita sudah tersentuh oleh kejatuhan dalam dosa, termasuk gaya hidup, cara berpikir, bahkan pandangan kita tentang sesuatu yang benar dan baik sudah tercemar oleh dosa. Kita mudah terjebak dengan kesenangan yang bersifat sementara. “…setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim-hakim 21:25).

Seperti nasihat Paulus di atas, panggilan untuk “tidak serupa dengan dunia dan berubah oleh pembaharuan budi” sungguh masih relevan sampai saat ini—di sini, di dunia di mana kita ditawarkan kebenaran-kebenaran semu yang anehnya kita adopsi dan sama sekali tidak terusik. Jerry Bridges, dalam bukunya Discipline of Grace mengatakan bahwa Paulus menegaskan hanya ada dua pilihan: pendirian dan nilai yang kita pegang akan timbul dari masyarakat di sekitar kita (dunia) atau timbul ketika pikiran kita dibarui oleh Firman Allah. Tidak ada pilihan ketiga. Harus diakui, bahwa dunia dengan segala pengaruh yang ia tawarkan: penekanan pada materialisme, hidup bagi diri sendiri, dan kepuasan instan benar-benar terlalu kuat dan meresap bagi kita. Akibatnya, desakan untuk mengikuti setiap trend  yang ada membuat kita merasa serba kekurangan dan sulit untuk bersyukur, hal ini merampas momen-momen di mana kita seharusnya menghitung berkat Tuhan satu per satu.

2. Mengingat secara terus-menerus bahwa hanya Kristus yang dapat memuaskan kita

Aku yakin setiap kita tidak asing dengan istilah-istilah bahwa hanya Yesus yang dapat memuaskan kita, hanya Yesus jawaban, dan sebagainya yang menyematkan “hanya Yesus…”

Namun, benarkah hal itu menyentuh setiap ranah kehidupan kita? Atau kalimat itu hanya sebatas slogan yang kita serap dari lingkungan Kristen kita? Sampai tingkat mana cara hidup kita benar-benar menunjukkan sikap hidup yang puas di dalam Kristus? Memiliki keyakinan penuh bahwa kita sudah ditebus oleh darah Kristus bukan hal yang sulit. Percaya bahwa hidup kita akan terus dipelihara dan dipimpin oleh Roh Kudus, kita imani. Namun, di waktu-waktu sepi di mana kita sendiri sibuk berselancar di media sosial ataupun ketika melihat secara langsung orang-orang di sekitar kita memiliki apa yang tidak kita miliki, memiliki apa yang kita inginkan, dan melakukan apa yang kita gemari, dan mendambakannya dengan amat sangat hingga menimbulkan sikap iri hati, kita perlu mempertanyakan kepuasan kita dalam Kristus. Kita tidak akan memperoleh kepuasan selama kita mencarinya di tempat-tempat yang tidak tepat. Adakah hal yang lebih memuaskan ketika Allah sendiri yang berfirman, “….maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yeremia 31:33).

Ketakutan akan ketertinggalan kebenaran

Di tengah desakan takut akan ketertinggalan yang ditawarkan oleh dunia, kita dipanggil untuk berbeda. Aku ingin mengajak kita melihat kembali sebuah peristiwa yang hanya dicatat dalam kitab Injil Matius, yaitu tentang orang Majus dari Timur.

Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem, di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi  yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya  di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” (Matius 2:1-3).

“Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada. Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” (Matius 2:9-11).

Orang-orang Majus, juga disebut sebagai orang-orang bijak atau beberapa penafsir mengatakan mereka tergolong dalam kelompok filsuf, astronom, dan golongan sejenisnya. Ini memberi kita sedikit informasi bahwa mereka tidak mengabaikan pengetahuan yang diberikan kepada mereka. Mereka mencari tahu lebih dulu hingga datang kepada Herodes. Ada teladan yang bisa kita lihat dari orang-orang Majus ini, ketakutan akan ketertinggalan pada sesuatu yang dapat membawa sukacita, ketakutan akan ketertinggalan pada sesuatu yang dapat membawa mereka mengenal Mesias dan menyembah-Nya. Ketakutan akan ketertinggalan pada “kebenaran”. Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki ketakutan akan ketertinggalan dalam hal beribadah, berdoa, membaca firman Tuhan, dan kelompok tumbuh bersama?

Bukan berarti kita menolak semua hal-hal terbaru. Menjadi orang Kristen bukan berarti kita tidak boleh bersenang-senang, yang salah jika seluruh waktu, daya, dan uang kita terkuras hanya karena kita ingin mengikuti tren, yang akhirnya kita tidak memiliki waktu untuk menikmati Tuhan dan bersekutu dengan sesama untuk membahas hal-hal yang fundamental dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Di zaman ini, sebagai orang Kristen kita perlu memiliki kebijaksanaan untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan kita. Kita tidak perlu mempertahankan relasi yang tujuannya cuma untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan karena kita terlihat asyik dan tidak membosankan.

Tuhan Yesus adalah Teladan Agung yang jika kita lihat kehidupan dan pelayanan-Nya di Alkitab selalu mengambil waktu untuk “menyingkir” seorang diri maupun bersama murid-murid-Nya. Bahkan kitab Markus mencatat, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.” (Markus 1:35).

Kiranya ketakutan kita akan ketertinggalan terletak pada semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Filipi 4:8), yang membawa kita pada pengenalan dan kasih yang semakin dalam akan Dia, Tuhan kita, Yesus Kristus dan kepada sesama. 

“Every day is a battle—for truth versus deception. For relational intimacy versus isolation. For growth and godliness versus sin and self-destruction. Ultimately, for love toward God and others versus idolatry of self.” —Jennifer Slattery.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *