Belajar Mencinta Apa Adanya di Tengah Dunia yang Ada Apanya dengan Prinsip HPDT

Oleh Olivia E. H.

Sejauh ini, ini pencerahan love life yang paling jauh aku dapatkan: Manusia benar-benar perlu belajar mencintai pasangannya seperti Tuhan mencintainya.

Konon kata seorang abang-abangan semester 20, hati-hatilah dengan candaan tongkrongan, karena ujung-ujungnya bisa sampai kitab nabi-nabi. Ya, dalam sirkel pertemananku, kerap teman-teman melontarkan candaan “Liv, kok mau sih pacaran sama X?” Hal ini merujuk pada pacarku; kami telah 5 tahun menjalin hubungan.

Loh iyaya, kenapa ya? Apakah ini sebuah empowered decision, atau aku hanya orang yang kurang neko-neko dalam mencintai?

Throwback ke masa lalu, aku teringat guyonan serupa sering diterima ibuku yang keturunan Hong Kong, sehingga konon di masa mudanya ia begitu putih seperti porselen Tiongkok, sedangkan ayahku berasal dari keluarga seniman Gambang Kromong berkulit lebih gelap. “Bu Mel, kok dulu mau sih sama Pak Anton?”

Atas hal ini, kalau mood-nya sedang bagus biasanya ibuku hanya berkilah, “Soalnya dulu waktu kenal belum hitam, masih merah jambu.”

Dari guyonan tongkrongan, berujung overthinking—itulah kisah hidupku. Otakku pun berputar, mencerna lagi mengapa guyonan semacam itu sering beredar, dari masa lalu hingga masa kini.

Mencintai yang Harus Ada Apanya

Mengikuti standar dunia atau ego kemanusiaan kita saja, hanya akan membelit diri pada cinta penuh syarat. Kita akan selalu mencari alasan “Oh, aku mau sama dia karena XYZ. Oh, dia gitu sih tapi gapapa deh soalnya dia masih punya ABCD.”

Dunia ini memiliki cara pandang dan pemaknaannya sendiri akan relasi pacaran, ini beberapa contoh yang aku jumpai:

1. Seorang pria hanya layak dicintai jika ia “mampu”

Salah satu stand up comedian favoritku, Chris Rock, memberikan hipotesa menarik dalam salah satu show spesialnya yang ditayangkan Netflix: Mau bilang “Ini nggak bener ah”, tapi dari zaman booming romance movie tahun 2000an, hal ini seakan dibenarkan.

   

Di film “Just Like Heaven”, karakter Mark Ruffalo sempat dikira tukang kebun, sebelum disingkapkan fakta kalau ia adalah landscape architect”—dengan demikian, dia adalah cowok yang keren. Pola yang sama terdapat di film “Material Girl”, di mana karakter utama cowok baru “dianggap” setelah terungkap ia bukanlah seorang petugas parkir melainkan peneliti di laboratorium. 

2. Seorang perempuan lebih mudah dicintai jika ia “cantik”

Berkebalikan, di film legendaris “Pretty Woman”, Julia Roberts dari bekerja di jalanan, bisa “diterima apa adanya” dalam sekejap oleh seorang pengusaha kaya raya, hingga masuk ke lingkar kaum jetset. Lalu ada juga serial TV “The Nanny”, seorang imigran dari kelas pekerja bisa direkrut begitu saja oleh keluarga Inggris yang ningrat, lalu mendapatkan cinta dari keluarga tersebut, hingga lagi-lagi, dinikahi bosnya.

   

Jika kita terbawa dengan pola pikir ini, seorang perempuan bisa jadi menuntut laki-lakinya menjadi “provider” sejati. Atau seorang lelaki menuntut perempuannya menjadi “penghibur” sejati, dengan spek mesias. Inilah fenomena yang sering terjadi dalam relasi yang di dalamnya tidak melibatkan hikmat Tuhan. Akibatnya, relasi pacaranmu lama-lama diisi oleh dua orang bingung yang saling melempar ekspektasi demi syarat merasa “bahagia”.

Padahal, apa iya, tujuan berpacaran itu untuk merasa “bahagia”?

Yuk, coba kita tanyakan dan gumuli pertanyaan ini bersama Tuhan.

Mencintai Seperti Tuhan Mencintai

Di 1 Yohanes 4:7-8 dikatakan, “Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, karena kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, karena Allah adalah kasih.” Jadi, kasih yang kita punya buat pacar kita juga harus mencerminkan kasih Tuhan yang tanpa syarat itu.

Masalahnya, aku sering banget menjumpai (dan jujur, pernah jadi pelaku juga), anak-anak Tuhan yang melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT) ketika sudah menemukan pacar baru. Bukan hal yang terasa berbahaya pada awalnya, kan? Nanti tinggal rutinin lagi sate-nya, kan?

Awalnya, pasti nggak ada yang terasa “salah”—tapi cepat atau lambat, kita akan mulai merasa relasi ini disetir oleh value-value lain. Value yang meneror batin kita dengan bisikan bahwa seorang pria harus begini, seorang wanita harus begitu, syarat dari hubungan yang bagus adalah ABCDE, hingga kita mencari validasi hubungan kita di tempat-tempat yang tidak seharusnya.

Memang, di tengah hingar-bingar punya pacar baru, sering kali HPDT (Hubungan Pribadi dengan Tuhan) terdampak. Ketika jomblo, super rajin membangun HPDT dengan sate, mengikuti kelas PA, bersekutu, dll. Setelah pasangan didapat, kita justru (sadar tidak sadar) lebih memilih menginvestasikan waktu dan fokus kita pada si pacar baru, dan HPDT pun “turun takhta” masuk prioritas kesekian.

Ketika kamu mulai berpacaran, ingatlah untuk nggak melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT). Kita harus tetap dekat dengan Tuhan dan belajar mencintai dengan hikmatNya. Justru, pergantian status dari jomblo jadi taken ini saatnya untuk semakin menguatkan HPDT kita. Ingat, Firman Tuhan itu hidup dan berkuasa, bisa bantu kita untuk mengenal cinta yang sesungguhnya.

HPDT itu penting, biar nantinya hubungan kita nggak cuma indah di luar, tapi juga penuh kasih dan kebenaran di dalam. Firman Tuhan di Matius 6:33 mengatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menjadikan Tuhan prioritas utama, termasuk dalam hubungan cinta. HPDT itu bukan cuma saat kita lagi sendiri, tapi juga saat kita lagi kasmaran.

Sebuah Red Flag Untuk Kita

Nah, ketika kamu berpacaran, coba deh perhatiin, apakah hubunganmu sama Tuhan makin erat atau malah sebaliknya? Jangan sampai karena sibuk sama pacar, kita jadi ngelewatin waktu berharga yang seharusnya kita habiskan buat ngobrol sama Tuhan. Karena tahu nggak? Dari HPDT itulah kita belajar cinta yang tulus dan sabar, cinta yang nggak hanya terpaku pada apa yang bisa dilihat mata atau diraba tangan, tapi cinta yang mendalam seperti yang Tuhan kasih ke kita. Intinya, cinta yang berbeda dari standar-standar “kebahagiaan” yang disyaratkan dunia untuk kita.

Aku menyaksikan begitu banyak gambar diri yang hancur, masa kecil yang rusak, maupun hidup yang suram, akibat ketimpangan ekspektasi dalam relasi. Ketika dua orang yang sama-sama kepahitan karena conditional love”-nya sama-sama tidak terkabulkan, lahirlah keluarga-keluarga disfungsional.

Itu bisa jadi masa depan kita, jika kita tidak mendudukkan ulang relasi pacaran kita hari ini, di muka Tuhan Yesus Sang Kasih Sejati. Dalam HPDT, kita dapat mendialogkan pengalaman hidup sehari-hari dengan Firman Tuhan, sehingga melahirkan transformasi diri yang memberkati. Itulah sebabnya, orang sering bilang kalau cowok red flag itu sesungguhnya cowok yang ketika dipacari, malah membuat kita makin jauh relasinya sama Tuhan.

Kembali soal pertanyaan tongkrongan tadi. Jika ditanya lagi, aku akan menjawab bahwa melalui hidup berpasangan ini, saya mengenal cinta yang membebaskan, bukan mengekang. Dan melalui HPDT, saya diajarkan lagi dan lagi mengenai cara Tuhan mencinta.

Yuk, jadi pejuang yang nggak cuma jago PDKT sama si dia, tapi juga jago HPDT sama Tuhan. Karena percaya deh, hubungan yang berakar pada kasih Tuhan pasti akan tumbuh kuat dan indah. So, keep your HPDT strong, and let your love story be a reflection of God’s love!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
3 replies
  1. Still Peea
    Still Peea says:

    Kerennn, Terima kasih kak dah ngingetin lagi pentingnya HPDT diatas relasi kita dgn manusia.
    Memberkati sekali 🙏🏽🙏🏽🙏🏽

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *