Maria pun Berjuang untuk Taat

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Saat itu matahari belum terbit dan aku sudah terbangun. Jemariku dengan cekatan menggenggam ponselku, menyalakannya, dan membuka Instagram. Lingkaran merah muda yang menandakan cerita temanku menjadi tujuan utama. Satu cerita, lanjut. Satu lagi, lanjut lagi. Satu lagi…

Tunggu.

Jantungku berdetak lebih keras ketika menatap sebuah cerita berisikan sebuah video permainan musik untuk persiapan sebuah ibadah. Aku pernah melihat video ini sebelumnya beberapa tahun lalu. Namun kali ini, ada yang berbeda.

Kali ini, video itu berwarna hitam putih.

Kali ini, terdapat tulisan pada video tersebut:

Fly high dear friend.

Salah satu pemain musik dalam video itu, seorang pelayan Tuhan yang setia, seorang yang kukenal dari jauh, kembali ke Rumah Bapa.

Kematian merupakan Kepastian

Dalam kehidupan di tengah ketidakpastian, kematian menjadi satu hal yang pasti. Sepanjang sejarah kekristenan, hanya Henokh dan Elia yang tidak mengalami kematian. Sisanya, dari mulai orang kristen biasa hingga mereka yang kita sebut sebagai pahlawan iman, mengalaminya—dua belas murid Yesus, Yusuf dan Maria, bahkan Yesus dalam kemanusiaan-Nya, sempat mengalami kematian.

Kematian pun masih eksis hingga masa kini. Seorang bayi yang baru lahir, remaja yang sedang mencari jati diri, pekerja muda yang sedang meniti karier, pengusaha yang berada di puncak kesuksesan, orang biasa; semuanya berhadapan dengan kemungkinan kematian.

Lalu, jika kematian begitu pasti, hidup ini untuk apa?

Pertanyaan tersebut pertama kali dilontarkan oleh seorang pendeta yang mengajar pada kelas katekisasiku. Satu kelas terdiam tidak merespons pertanyaan tersebut, termasuk aku.

Namun, kali ini aku mencoba merenungkannya.

Kalau hidup adalah untuk keluarga, apakah mereka yang tidak punya keluarga bisa dikatakan tidak punya hidup?

Kalau hidup adalah untuk mencari bahagia, apakah mereka yang berada dalam belenggu depresi bisa dikatakan tidak punya hidup?

Kalau hidup adalah untuk mencari uang, apakah mereka yang tidak punya uang bisa dikatakan tidak punya hidup?

Perenunganku membawaku teringat pada sebuah analogi yang seorang pengkhotbah sampaikan terkait tujuan hidup manusia.

Analoginya seperti ini:

Sebuah pulpen gunanya adalah untuk menulis. Yang membuat tujuan pulpen untuk menulis adalah pencipta pulpen. Pengguna pulpen bisa menggunakan untuk hal lainnya, seperti untuk melempar orang, mengganjal permukaan supaya rata, tapi bukan itu fungsi pulpen sebenarnya.

Sama halnya dengan hidup. Yang membuat tujuan adanya hidup, adalah Sang Pencipta Hidup. Pengguna hidup bisa menggunakannya untuk hal lain, tapi bukan itu tujuan hidup sebenarnya.

Mengingat analogi tersebut, membuatku menyadari bahwa kita sebagai pengguna hidup seringkali membuat tujuan lain dalam hidup kita. Untuk bahagia, untuk kaya, untuk menikmati kenyamanan. Kita tahu suatu saat kita akan mati, lalu kita menggunakan hidup ini untuk bersenang-senang melakukan banyak hal semau kita dengan prinsip #YOLO (You Only Live Once).

Namun bukan itu tujuan hidup kita sebenarnya.

Di akhir kelas katekisasi yang aku ikuti, pendeta tersebut menyampaikan bahwa tujuan hidup kita sebagai orang percaya adalah untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan selamanya.

Memuliakan Tuhan dinyatakan dengan komitmen untuk memuji Tuhan atas karakter-Nya, serta mewartakan pribadi-Nya lewat kehidupan kita. Sedangkan menikmati Tuhan dapat kita lakukan ketika kita mengerjakan ketaatan kita dengan sukacita dan mensyukuri segala pemberian-Nya dalam keseharian.

Namun tak jarang, memuliakan dan menikmati Tuhan sepertinya tidak berjalan beriringan. Sebut saja ketaatan. Kita tahu bahwa dengan taat melakukan yang Tuhan inginkan, merupakan cara memuliakan Tuhan; tapi banyak kasus ketika ketaatan itu sulit untuk kita nikmati. Misalnya ketika kita merasa lelah namun harus pulang lebih lama karena terlibat dalam pelayanan gereja. Atau ketika kita harus menolong orang dengan memberikan sebagian harta yang kita kumpulkan dengan susah payah.

Maria, Sebuah Pergulatan Memuliakan dan Menikmati Tuhan

Pada Lukas 1:38 Maria mengatakan, Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Aku membayangkan Maria yang masih muda mengatakan kalimat itu. Mungkin ia terperanjat, terheran-heran, tidak percaya, bahkan mungkin takut. Namun, Maria memilih taat dan memuliakan Tuhan lewat hal ini. Meskipun ternyata, perjalanannya menikmati Tuhan tidak semudah itu.

Kitab Lukas 1 dilanjutkan dengan Maria yang mengunjungi Elisabet. Sejarah mencatat bahwa jarak yang ditempuh Maria adalah sekitar 130 km, seperti perjalanan Jakarta-Bandung. Bayangkan Maria yang sedang hamil, rela pergi sejauh itu, dengan alat transportasi pada masa itu yang tentulah tidak senyaman sekarang.

Mengapa Maria rela menempuh perjalanan sejauh itu? Karena Maria membutuhkan Elisabet. Elisabet juga sedang mengandung dalam kondisi yang sama-sama terasa tidak mungkin. Maria mencari seseorang yang mengerti perasaannya. Maria mencari seorang teman.

Ketika Maria datang, dikatakan bahwa bayi di dalam perut Elisabet melonjak dan Elisabet berkata-kata dengan dipenuhi Roh Kudus (41-45). Sehingga pada akhirnya, Maria menyatakan nyanyian pujiannya (46-55). Nyanyian pujian ini pertama kali menyatakan bagaimana Maria menikmati Tuhan dalam ketaatannya.

Kisah Maria memberikan contoh bahwa memuliakan Tuhan bukanlah hal yang mudah. Memuliakan Tuhan memerlukan ketaatan yang seringkali justru terkesan menakutkan. Namun dalam ketakutan itu, perjalanan ketaatan acapkali disertai dengan kejutan yang menimbulkan senyum dan sukacita.

Seperti Maria yang membutuhkan Elisabet, kita pun membutuhkan dukungan untuk menjalani kedua tujuan hidup kita secara beriringan. Kita perlu diyakinkan, bahwa ketaatan kita untuk memuliakan Tuhan, juga bisa membuat kita menikmati berbagai sarana-Nya mengasihi kita.

Memuliakan dan menikmati Tuhan lewat ketaatan, bukanlah hal yang mudah. Namun Allah yang setia itu, memberi diri untuk menyertai perjalanan kita memenuhi tujuan hidup yang Ia berikan.

Kiranya dalam ketidakpastian hidup, kepastian yang kita terus ingat adalah Allah yang terus beserta.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. Imanuela oktafely
    Imanuela oktafely says:

    Terimakasih kak untuk tulisannya, begitu memberkati. Akhirnya berefleksi kembali tentang apa yg sedang dikejar saat ini 🌻

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *