Hoaks, Asal Viral, dan Penghakiman: Bagaimana Film Budi Pekerti Menunjukkan Kondisi Masyarakat Kita

Oleh Sandyakala Senandika

Kalau kamu belum menonton film berjudul “Budi Pekerti”, mungkin kamu penasaran ini film apa karena kesan dan review mulai bermunculan di media sosial. Dan, kalau kamu sudah menontonnya, mungkin kamu merasa gereget dengan warganet yang mengakibatkan hidup Ibu Prani dan keluarganya porak poranda dalam sekejap, ibarat puting beliung yang menerbangkan atap rumah seisi kampung.

Mengambil setting kota Yogyakarta kala masa pandemi, film besutan sutradara Wregas Bhanuteja ini menyajikan fenomena buruk dari budaya kita bermedia sosial: bagaimana suatu peristiwa dibingkai, dilepas dari konteksnya, dan diviralkan begitu saja hingga melahirkan hoaks yang kemudian menghancurkan kehidupan korbannya.

Sedikit spoiler, Ibu Prani Siswoyo yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah guru Bimbingan Penyuluhan (BP) di suatu SMP. Dia guru yang gaul, melek teknologi, dan dicintai karena metodenya yang selalu memberikan “refleksi” alih-alih hukuman pada murid-muridnya yang bermasalah. Tapi, di balik pengabdiannya sebagai guru, Ibu Prani punya segudang beban. Suaminya, Didit Wibowo yang diperankan Dwi Sasono mengalami depresi yang mengarah bipolar lantaran usahanya hancur dihantam pandemi. Untuk pengobatan, tabungan mereka pun terkuras, sampai-sampai uang bayar kontrakan pun harus dipakai lebih dulu.

Konflik panas dimulai saat Ibu Prani sedang mengantre makanan kue putu Mbok Rahayu yang terkenal. Ibu Prani menegur seorang yang menyerobot antrean, tapi orang itu tak terima. Peristiwa cekcok itu direkam oleh orang-orang yang ada di pasar dan kemudian diunggah. Celakanya, bagian yang menjadi viral adalah momen ketika Ibu Prani mengucap “Ah suwi,” yang artinya “ah lama”. Tapi, karena diucap dengan cepat, frasa itu terdengar seperti “asu..i” yang dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.

Pasca viralnya video itu, kehidupan Bu Prani berubah total. Hoaks bermunculan di mana-mana. Kedua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda) pun terkena getahnya.

Belantara Maya yang Ganas

Artikel karya Dwi Bayu Radius yang dimuat di harian Kompas.id menuliskan bahwa secepat jemarinya bergerak, pengguna media sosial menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran.

Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang disebut agenda setting. Teori ini berkata bahwa media tidak mengabarkan suatu peristiwa secara utuh, melainkan membingkainya (framing) agar memenuhi kepentingan mereka sendiri. Dalam konteks saat ini ketika setiap orang dapat berperan menjadi media lantaran panggung bernama medsos, kepentingan yang lahir adalah klik dan viralitas. Orang berlomba-lomba ingin jadi pahlawan yang seolah sedang memperjuangkan sesuatu tetapi abai terhadap konteks. Warganet yang cepat terbakar emosinya pun menjadi faktor yang menyuburkan konten menjadi viral.

Kita dapat dengan mudah menjumpai konten atau peristiwa viral setiap harinya. Meskipun ada konten-konten viral yang baik seperti Twitter do your magic yang mampu mengungkap orang hilang atau kasus penipuan, tapi tak sedikit pula yang berakhir pada bully atau perundungan. Pada Juni 2022 seorang perempuan muda dihujat habis-habisan oleh warganet lantaran ada seseorang yang merekam diam-diam peristiwa ketika seorang petugas kebersihan di mal menolongnya membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak kotoran anjing. Konteks sebenarnya adalah petugas tersebut dengan rela hati menawarkan pertolongan. Tetapi, pada unggahan yang dipotong, dibingkai, dan diviralkan itu dibumbui caption bernada iba, seolah si perempuan itu merendahkan petugas kebersihan.

Vox Populi tak selalu Vox Dei

Ada ungkapan bahasa Latin yang berkata: Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan ini kerap dipakai dalam dunia politik yang menegaskan bahwa suara mayoritas bisa jadi representasi dari kehendak Tuhan.

Namun, dalam konteks bermasyarakat kita di masa sekarang, sebagai orang Kristen kita perlu mengingat bahwa kebenaran dan kehendak Allah tidak berbicara soal jumlah suara mayoritas. Semisal, ketika seisi kelas sepakat membeli kunci jawaban ujian nasional, tidak berarti mencontek itu menjadi benar. Atau, ketika orang berbondong-bondong menerobos lampu merah di suatu perempatan yang sibuk, itu tidak berarti lampu merah tersebut menjadi salah.

Tidak mudah untuk berdiri teguh ketika hampir semua orang di sekeliling kita melakukan yang berbeda. Inilah yang disebut sindrom mob mentality, yaitu pola pikir atau kecenderungan ketika seseorang mengikuti atau meniru sekelompok orang tanpa mengerti hal tersebut salah atau benar. Dalam Alkitab, kita dapat melihat perilaku mob mentality ini dalam kasus Stefanus, martir Kristen pertama. Dalam Kisah Para Rasul 6:8-15, dikisahkan bahwa anggota rumah ibadah Yahudi tak sanggup melawan hikmat Stefanus dalam perdebatan. Alhasil mereka menebarkan berita palsu, menuduh Stefanus telah menghujat Musa dan Allah supaya Stefanus dihukum. Massa pun mengamuk karena merasa tersakiti oleh Stefanus. Pada pasal 7 ayat 54-60, dituturkan akhirnya Stefanus diserbu, dihalau ke luar kota, dan dirajam hingga meninggal.

Kisah Stefanus adalah contoh yang relevan hingga sekarang, tentang bagaimana berita bohong dapat dengan mudah disebarkan dan memantik emosi massa. Hari-hari ini, ketika zaman telah berkembang pesat, kecenderungan untuk menelan mentah-mentah berita bohong itu tetap ada. Dalam konteks media sosial, mungkin kita tidak merajam seseorang dengan batu, tetapi dengan kata-kata hujatan yang kita ketikkan dengan begitu luwesnya. Ganasnya tindakan ini dipengaruhi juga oleh pola pikir mob mentality yang turut diperparah dengan mudahnya seseorang menyembunyikan identitas atau jati dirinya menggunakan akun alter atau anonim. Tak cuma kritik atas karya, tapi juga menyerang pribadi seseorang. Jika kita mudah terpancing emosinya saat bermedsos, Pemazmur mengundang kita untuk “jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu” (Mazmur 34:14).

Ketika warganet dengan semangat merundung seseorang lalu menghukumnya dengan cancel-culture karena satu peristiwa yang kita tak ketahui konteks utuhnya, kita perlu berhenti sejenak: apakah kita perlu menanggapi peristiwa tersebut dan menuturkannya kepada orang lain? Atau, cukup melihat dan menyimpannya dalam hati? Untuk memutuskan ini kita membutuhkan hikmat ilahi (Amsal 2:6), yang menolong kita untuk bisa mengidentifikasi apa yang terbaik yang dapat dan perlu kita lakukan.

Hikmat ilahi jugalah yang akan memampukan kita untuk menyaring apa yang baik dari dunia maya, khususnya media sosial. Kejadian-kejadian dan budaya buruk yang hadir di sini tidak berarti bahwa dunia maya adalah dunia yang mutlak rusak, tetapi ini adalah dunia yang di dalamnya terbuka luas kesempatan untuk kita dapat memuridkan dan dimuridkan. Meski tidak segaduh konten-konten negatif, ada banyak tokoh dan konten yang digerakkan oleh visi mulia, yang tidak menjadikan klik dan viral sebagai tujuan.

Menutup tulisan ini, aku teringat akan kisah ketika para gembala cepat-cepat berangkat menjumpai Maria, Yusuf, dan bayi Yesus (Lukas 2:8-20). Saat tiba di sana, para gembala pun bercerita tentang kejadian luar biasa yang baru saja mereka alami: para malaikat tampak bersama bala tentara surga dan memuji Allah. Coba kita bayangkan. Jika kita adalah para gembala yang sedang duduk-duduk menjaga domba di padang rumput luas kala malam, mungkin kita akan kaget dan seolah tak percaya didatangi malaikat, lalu kita pun dengan segala macam ekspresi menceritakannya pada orang lain. Menariknya, pada ayat 19 dituliskan bahwa Maria memilih menanggapi cerita para gembala itu dengan tenang, dia “menyimpan semua hal itu di dalam hatinya dan merenungkannya”.

Pada dunia yang sangat berisik dan telah tersapu tsunami informasi, dengan hikmat dan tuntunan Roh Kudus barangkali kita dapat melakukan apa yang Maria telah lakukan, yakni menyimpan apa yang telah kita lihat, dengar, atau rasakan dalam hati kita dan merenungkannya terlebih dulu sebelum kita memutuskan apakah kita perlu meneruskannya pada orang lain, atau menyimpannya di dalam hati.

Ketika di depanku tersaji suatu peristiwa,

Kiranya terbitlah lebih dulu kesabaran untuk melihat, mencerna, memilah, serta memutuskan apakah itu patut kututurkan ulang, atau sekadar kusimpan dalam hati.

Agar dari dalamku, janganlah lahir penghakiman yang mendahului pengertian.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *