Tuhan Menjumpaiku Ketika Aku Melajang dan Merasa “Tertinggal”

Oleh Grace Lim 

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: How God Met Me Where I was Single and Feeling Left Behind

Telah lama aku merindukan sosok pasangan, untuk membangun satu keluarga yang menyembah Tuhan bersama-sama. Namun, rencanaku untuk menikah di usia muda tidak tercapai. Usia 20-anku dipenuhi kisah cinta yang berakhir dengan tidak bahagia. Sampai sekarang aku masih melajang dan mengalami masa-masa ketika aku merasa begitu kesepian.

Mencari pasangan dari circle terdekat seperti teman-teman gereja tidak lagi memungkinkan. Sebagian besar mereka sudah berpasangan atau menikah, meskipun kebanyakan jemaat gerejaku masih berusia muda. Kadang aku merasa seperti orang aneh yang tertinggal. Bergaul dengan teman-teman yang sudah menikah itu jadi tantangan tersendiri bagiku—mereka sering kali tidak punya waktu, prioritasnya beda, dan sulit nyambung karena tahap kehidupan kami yang berbeda. Sulit juga untuk berkenalan dengan orang baru dari orang-orang yang mereka coba kenalkan karena kebanyakan sudah menikah. 

Sikapku dulu hanya duduk diam, menunggu Tuhan memberiku sosok pasangan. Tapi, seiring usiaku bertambah, pandangan ini berubah. Kudengar beberapa pasangan ‘sukses’ dari dating-apps. Kupikir, siapakah aku sehingga aku membatasi cara kerja Tuhan? Aku percaya Tuhan dapat menggunakan media apa pun, termasuk dating apps, untuk memberiku pasangan yang saleh. 

Sudah lebih dari setahun aku menggunakan aplikasi kencan dan ternyata perjalannya tidak mulus. Seperti yang dikatakan beberapa orang, “dating-apps bukanlah untuk orang yang lemah hati.” Swipe kanan-kiri yang entah sudah berapa ribu kali, mengulang lagi sapaan dan pertanyaan, yang ujung-ujungnya malah membawaku pada kecewa dan putus asa. Meski begitu, aku blum menyerah. Aku terus berdoa agar hatiku selalu tertuju pada Tuhan dan Roh Kudus menuntunku dalam perjalanan ini. Bagaimana pun juga, aku ingin membangun sebuah keluarga yang mengutamakan Kristus sebagai pusatnya.

Setelah melalui banyak penolakan, akhirnya aku dipertemukan dengan seseorang yang sangat nyambung denganku. Kami memiliki banyak kesamaan, termasuk keyakinan. Kami beberapa kali bertemu dan sungguh menikmati kebersamaan. Pikiran bahwa dia mungkin adalah “orangnya” terlintas di benakku. Meskipun demikian, aku berdoa agar kehendak Tuhanlah yang terjadi dan Dia menunjukkan apakah si pria ini memang orang yang Tuhan inginkan untukku.

Tuhan menjawab doaku dengan cepat. Suatu sore, pria itu mengirim pesan. Katanya, dia tidak tertarik padaku dan tidak bisa melihat masa depan bersamaku. Mengejutkan. Padahal kami baru saja bertemu sehari sebelumnya dan pertemuan itu terasa menyenangkan dan obrolannya asyik.

Kecewa dan bingung kurasakan. Aku bertanya-tanya: apakah aku telah melakukan kesalahan dalam pertemuan kami? Meskipun aku ingin kehendak Tuhan yang terjadi, aku tidak bisa tidak merasa kesal karena kencanku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku juga bingung mengapa Tuhan menutup pintu dengan begitu tiba-tiba, padahal pria itu tipeku.

Namun, dalam kasih karunia dan belas kasih-Nya, Tuhan menjumpaiku dalam kehancuran. Aku merasakan bisikan lembut yang bertanya kepadaku, “Jika kamu sepenuhnya percaya kepada Tuhan dan membiarkan kehendak-Nya terjadi dalam hidupmu, mengapa kamu begitu patah hati dan marah?” Tuhan melihat peperangan di dalam diriku—ingin melakukan kehendak-Nya, namun merasa frustrasi ketika kehendak-Nya terjadi.

Pertanyaan yang kuterima mendorongku untuk merenung dan bertanya kepada Tuhan apa yang ingin Dia ajarkan kepadaku. Meskipun Dia tidak menjawab doaku seperti yang kuharapkan, tapi Tuhan mengizinkanku belajar dua hal dari kejadian ini.

1. Ini tentang mengungkapkan keadaan hatiku

Seringkali, hati kita begitu ingin memenuhi kehendak sendiri, sampai-sampai obsesi itu menguasai diri kita.

Elisabeth Elliot pernah berkata, “Sesuatu yang tampaknya sedikit atau kecil justru punya kekuatan untuk membuat kita mengasihani diri sendiri, seperti halnya kesepian”. Meskipun hubungan dan pengalamanku di masa lalu telah mengajarkanku bahwa Tuhan selalu ingin yang terbaik untukku, tapi ketika aku merasa sangat kesepian, aku tidak dapat melihat kebenaran itu. Seperti yang dikatakan Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Bagaimanapun juga, Tuhan mengetahui isi hatiku dan apakah aku telah benar-benar menetapkan hatiku di hadapan-Nya, seperti yang telah kudoakan. Lalu, muncul pertanyaan: apakah aku akan tetap menyembah Dia walau segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan?

Aku butuh pengingat untuk tunduk kepada-Nya sebagai Raja atas hidupku dan menyerahkan setiap keinginanku kepada-Nya. Aku perlu terus mengulangi kebenaran ini dan mengatakannya dalam hati bahwa Yesus telah membeliku dengan nyawa-Nya sendiri, dan hidupku bukan lagi milikku sendiri (Galatia 2:20, 1 Korintus 6:19-20). Ayat-ayat ini memberiku ketenangan, menunjukkan padaku tentang Seseorang yang mengasihiku hingga rela mengejarku sampai ke kayu salib.

2. Ini tentang kesabaran

Kedua, kejadian ini juga memberikan pelajaran tentang kesabaran. Mempercayakan masa depanku pada rencana baik Tuhan (Roma 8:28-30; Yesaya 55:8-9) membantuku untuk bersabar dalam penantian. Aku tahu bahwa definisi-Nya tentang kebaikan mungkin berbeda dengan apa yang dapat kupahami. Sebagaimana Amsal 3:5 mengingatkanku untuk “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”, aku tahu bahwa aku tidak perlu ngotot untuk menemukan seseorang atau mewujudkan sesuatu (misalnya, mengecek aplikasi tiga kali sehari, atau memaksa buru-buru nyambung dengan orang baru).

Sambil menunggu, aku dapat melakukan apa yang telah Tuhan percayakan kepadaku di gereja dan komunitas, seperti menggunakan waktu untuk menulis artikel ini (menulis telah menjadi cara yang efektif untuk mengalihkan pikiranku dari rasa kesepian), berperan aktif dalam kelompok pendalaman Alkitab, dan menolong teman-teman yang membutuhkan.

Berjalan erat dengan Tuhan menunjukkan padaku bahwa Dia berdaulat, Dia baik, dan Dia senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupku. Hal ini mengingatkanku untuk terus bersandar pada Roh Kudus ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku mungkin tidak mengerti situasi yang kuhadapi, tetapi dengan menyerahkan hidupku kepada-Nya setiap hari, membantuku menyelaraskan keinginanku dengan keinginan Tuhan. Sebagai gantinya, Dia memenuhiku dengan kekuatan dan hikmat.

Aku juga membangun beberapa rutinitas untuk melewati hari-hari yang sulit itu, seperti meletakkan kesepianku dalam doa, menyatakan janji-janji baik Tuhan dengan lantang, berjalan-jalan, atau menelepon seorang teman. Melakukan hal-hal kecil ini membantu mengalihkan pikiranku dari perasaan mengasihani diri sendiri.

Aku tidak tahu kapan Tuhan akan menjawab doaku untuk mendapatkan pasangan, tapi aku percaya pada waktu-Nya, dan aku tahu Yesus akan menyertaiku dalam kesepianku. Faktanya, aku tahu Dia akan menggunakan kesepianku untuk membawaku lebih dekat kepada-Nya, dan betapa indah serta berharganya hubungan ini!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
9 replies
  1. Falen Aronggear
    Falen Aronggear says:

    Amin, lagi di fase ini tapi tentang pekerjaan terima kasih untuk sharingnya akhirnya aku bisa sedikit tenang setelah baca artikel ini, semangat berkarya kaka 🤗💝

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *