Mencari dan Menikmati Uang Tanpa Menjadikannya “Candu”

Oleh Andrew Laird
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Make Money Without Getting Consumed By It

Semuanya berubah pada hari ketika aku menerima upah dari pekerjaanku untuk pertama kalinya. 

Aku baru bekerja kurang lebih dua minggu waktu uang itu masuk ke rekeningku. Belum pernah kuterima nominal sebesar itu seumur hidupku. “Aku kaya!” pikirku dalam hati.

Sayangnya, perasaan itu tidak bertahan lama. Seperti peribahasa besar pasak daripada tiang, itulah yang terjadi selanjutnya. Gaya hidupku membuat pengeluaranku melambung jauh, melampaui jumlah yang bisa kuhasilkan. 

Tapi, aku tidak boros sendirian. Hampir semua orang yang kuajak bicara pernah mengalami yang kualami. Ada masa-masa ketika mereka merasa kaya, tapi setelahnya, rasanya semua penghasilan mereka tidak pernah cukup. “Seandainya aja aku bisa dapat lebih banyak,” pikir mereka. 

Salah satu berkat yang luar biasa dari bekerja adalah bahwa kita mendapat upah untuk upaya kita. Tuhan telah merancang kita untuk bekerja. Dari bekerja, kita bisa mencipta atau membuat benda-benda yang kita bisa gunakan untuk bertahan hidup, atau dari bekerja kita mendapatkan uang untuk membeli barang-barang yang kita butuhkan (Amsal 10:4, 30:8-9). Uang yang kita dapatkan juga bisa kita gunakan untuk melakukan kebaikan yang besar bagi orang lain—merawat dan menafkahi keluarga, mengasihi teman, dan bagi kita orang-orang percaya, mendukung pengabaran Injil sampai ke ujung bumi.

Tetapi, kita juga tahu bahwa upaya kita mengejar uang bisa menjadi aktivitas yang bersifat toksik atau beracun, seperti yang Alkitab katakan: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1 Timotius 6:9-10).

Lantas, bagaimana kita bisa menyelaraskan antara bekerja keras untuk mendapatkan uang tanpa terjerat oleh godaan untuk menjadi hamba uang?

Berikut adalah empat saran dariku:

1. Pikirkan kembali pandangan-pandangan yang sepertinya ‘benar’ soal uang

Sebagai permulaan, ada baiknya kita menyelidiki apakah kita telah mengadopsi pemahaman tentang uang dari keluarga, atau budaya kita, yang tidak sejalan dengan pandangan Tuhan tentang kekayaan. 

Pandangan umum tentang uang adalah uang memberikan rasa aman. Makin banyak jumlah uangnya, makinlah aman hidup kita, juga keluarga kita. Tak ayal, kita semua diajari untuk menabung sejak dini.  Tabungan itu penting agar kita memiliki cadangan uang, alias sedia payung sebelum hujan

Nah, ada banyak hikmat terkandung dalam pandangan ini! Alkitab memperingatkan agar kita tidak menjadi bodoh di hadapan uang kita dan membelanjakannya dengan tidak bijaksana (Amsal 21:5, 20).

Namun demikian, kita harus bertanya pada diri sendiri, “Apakah demi merasa ‘aman’, satu-satunya cara yang kutempuh adalah dengan mencari uang sebanyak mungkin?” Cara yang baik untuk mengetahui hal ini adalah dengan bertanya kepada orang lain. Carilah seorang teman yang dapat dipercaya dan tanyakan kepada mereka, “Apakah kamu lihat tanda-tanda kalau aku lebih percaya sama uang daripada Tuhan?”

Alkitab memperingatkan agar kita tidak mencari keamanan dalam hal-hal yang bersifat material. “Terkutuklah orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada manusia, yang mengandalkan kekuatan manusia dan yang memalingkan hatinya dari TUHAN. Tetapi berbahagialah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menjadikan TUHAN sebagai pengharapan dan keyakinan mereka.” (Yeremia 17:5, 7, NLT).

Keamanan tertinggi tidak dapat ditemukan dalam uang. Seandainya pun uang memberi rasa aman, itu hanya sementara, bahkan bagi mereka yang menurut standar kita kaya raya dan tampaknya tidak memiliki kekhawatiran dalam hidup karena uang mereka membantu mereka menghindari bahaya (Amsal 13:8). 

Kita perlu memercayai kata-kata Alkitab dan menantang pandangan ini dengan kebenaran bahwa keamanan yang sesungguhnya ada di dalam Tuhan, dan Dia akan memberikan semua yang kita butuhkan. “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:19).

2. Pikirkan kembali motivasimu

Ada aspek lain dari cara kita berurusan dengan uang yang mungkin perlu kita telaah lagi: motivasi kita. Kesombongan dan ketakutan bisa saja tersembunyi letaknya, tak terlihat dari luar tapi mempengaruhi pandangan kita terhadap uang.

Sebagai contoh, dalam banyak budaya, status dan identitas sering dikaitkan dengan jumlah kekayaan yang kita miliki. Kita mungkin mengukur nilai dan harga diri kita (atau nilai dan harga diri orang lain) berdasarkan seberapa banyak yang dimiliki. 

Kita mungkin tidak sadar sedang menerapkan pemahaman ini, namun coba pikirkan tentang siapa yang biasanya kamu dekati di sebuah pesta, dengan siapa kamu berbisnis, atau bahkan dengan siapa kamu menghabiskan waktu di gereja.

Coba bertanya pada diri sendiri, “Apakah kesombongan (keinginan untuk dianggap baik oleh orang lain) memotivasi pandanganku tentang kekayaan dan pengejarannya?”

Dengan cara yang sama, rasa takut akan pendapat orang lain dapat mendorong motivasi yang tidak baik untuk mengumpulkan kekayaan. Kita tidak ingin dilihat kere karena kita menyarankan restoran murah untuk makan bersama, liburan hemat, atau kursi yang paling murah di konser. Alhasil, kita berusaha meraih lebih cuma demi mengikuti teman-teman kita.

Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri akan kekayaan luar biasa yang kita miliki di dalam Kristus, yang telah “mencurahkan” kepada kita segala berkat rohani (Efesus 1:3-12), dan dengan berlimpah menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan di dalam kehidupan ini (1 Timotius 6:17).

3. Ingat bahwa kita bukan pemilik sesungguhnya

Tidaklah cukup hanya dengan menantang pandangan dan motif yang salah; kita perlu menggantinya dengan pandangan dan motivasi yang benar! 

Kebenaran mendasar yang dapat membantu kita adalah mengingat siapa pemilik uang kita. Pada akhirnya, semua itu adalah milik Tuhan, bukan milik kita. Alkitab berkata, “Bumi adalah milik TUHAN dan segala isinya” (Mazmur 24:1-2), dan ini seharusnya membuat kita berhenti sejenak dan mengakui kebenaran ini di hadapan Tuhan dalam doa secara teratur!

Dalam kemurahan hati-Nya yang besar, Allah telah mempercayakan “milik-Nya” kepada kita (Mazmur 8:3-4, 6), dan kita harus mengelola karunia-Nya yang baik untuk kepentingan orang lain.

4. Terapkan sifat kasih 

Seperti hal lainnya dalam kehidupan Kristen, kasih kepada sesama seharusnya menjadi hal yang mendorong kita dalam melihat dan menangani uang.

Kita dapat melihat motivasi kasih ini dengan jelas dalam Efesus 4:28. “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan”. Uang adalah sarana untuk berbagi dan untuk mengasihi orang lain, karena seperti yang dikatakan Alkitab, “kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami.” (2 Korintus 9:10-11).

Inilah sebabnya mengapa Alkitab bicara lantang tentang sikap tamak yang menimbun keuntungan untuk diri sendiri. “Siapa yang mencintai uang tidak akan puas dengan uang; dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri.” (Pengkhotbah 5:10, 13). Besifat tamak, menimbun kekayaan demi kepentingan diri sendiri hanya akan merusak diri kita sendiri karena kita tidak akan pernah mencapai titik kepuasan, melainkan selalu akan menginginkan lebih. 

Ketamakan bisa kuibaratkan seperti seorang yang mengalirkan air ke bak yang buntu, tak ada saluran lain untuk air bisa keluar. Memang betul bak akan terisi penuh. Tapi, lama-lama air yang disimpan dan tak pernah berganti itu akan jadi kotor dan berbau. Air haruslah mengalir agar tetap segar. Begitu juga dengan uang. Ketika Tuhan mempercayakan kekayaan kepada kita, cara kita memperlakukan kekayaan itu secara sehat adalah dengan tidak menyimpannya untuk diri kita sendiri, melainkan menjadi saluran yang melaluinya kekayaan itu mengalir untuk kepentingan orang lain! 

Ada sukacita yang datang dari memberi, yang tidak akan kita rasakan jika kita tidak pernah memberi! Kita harus percaya kepada Yesus ketika Dia berkata, “Adalah lebih bahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35).

Kita mungkin berpikir, “Aku ingin beramal, tetapi lagi susah keadaannya. Nanti kalau keadaan sudah lebih baik, baru aku akan memberi.” Namun, Alkitab tidak berkata bahwa kita baru bisa memberi kalau sudah hidup berkelimpahan. Alkitab berkata kita bisa memberi di saat kita sendiri mungkin merasa kurang (2 Korintus 8:2-5). Kemurahan hati seperti ini baru bisa kita lakukan ketika kita benar-benar melihat kepada Yesus, yang tidak menghitung harga yang harus dibayar ketika memberikan nyawa-Nya kepada kita.

Yesus tidak memiliki masalah dengan menjadi kaya (secara materi dan spiritual), tetapi apa yang Dia lakukan dengan kekayaan-Nya yang berlimpah? “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” (2 Korintus 8:9). 

Yesus menanggalkan kekayaannya karena kasih-Nya buat kita. Dengan mengingat teladan Kristus, kita mampu bijaksana dan memastikan bahwa dalam upaya kita mencari uang, kita tidak dikuasai oleh uang.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bagikan Konten Ini
2 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *