Menerima Diri Sendiri Apa Adanya? Hmm..

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Pagiii..” suara cempreng Mila mengalihkan pandanganku dari layar ponsel. Aku hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan menikmati sarapan mie balap seafood kesukaanku dengan segelas teh manis hangat.

“Eh, tempat fitness di atas mulai buka minggu depan ya? Rame banget promonya di dekat lift tadi.” Mila mulai duduk dan menghidupkan layar komputernya. Aku hanya mengedikkan bahu, tidak tertarik.

“Asyik dong. Ntar kita bisa nge-gym bareng. Membershipku di tempat lama juga bakal selesai akhir bulan ini. Mau ikut kan, Feb?”  tanyanya padaku.

“Nggak tertarik ah, aku nggak suka olahraga,” jawabku singkat.

“Olahraga bukan suka-nggak-suka kali, Feb, tapi kita kan memang perlu, sama kayak kita perlu makan,” atanya santai.

“Iyaaa. Tapi kayaknya aku belum memerlukannya sekarang. Aku bersyukur kok dengan tubuhku yang sekarang.” Ucapku, ingin mengakhiri topik pembicaraan ini. Malas membahas lebih lanjut. Tapi Mila seperti tidak menangkap sinyal itu dan terus melanjutkan.

“Jadi kapan menurutmu kamu akan memerlukannya? Tunggu jadi sobat jompo dulu?”

“Udahlah Mil, aku lagi nggak mood bahas topik ini.”

Mila menghembuskan napas. “Kamu sampai rumah jam berapa semalam?” tanyanya kemudian.

“Hampir jam sebelas,” jawabku setelah berpikir beberapa detik.

“Lama juga, ibadahnya kan selesai jam 9.” 

“Iya, aku lapar banget. Boleh dong setelah pelayanan makan dulu,” sahutku, sebelum ia akan memberi petuah-petuah lagi tentang menjaga kesehatan dan pola makan.

Ia hanya mengangguk-angguk, menenggak jus buah yang ia bawa dari rumah. Menghabiskannya dalam waktu singkat. 

Aku meliriknya sekilas. Lalu beranjak membuang bungkus mie balapku.

Sambil mencuci gelas kotorku, aku tiba-tiba teringat dengan semua omongan Mila selama ini tentang memperhatikan pola hidup. 

“Kamu yakin pesan sebanyak itu?” katanya suatu waktu ketika kami makan siang di restoran cepat saji yang baru buka di dekat kantor.

Aku mengangguk mantap. “Kita kan masih muda, Mil, nikmatin ajalah. Ntar kalo udah tua, harus jaga kolesterol, asam urat, dll. Sekarang ya kita nikmatin apa yang masih bisa dinikmatin, kan!” jawabku enteng.

“Ya pola hidup kita di masa muda ini yang menentukan akan jadi seperti apa kita nanti di masa tua, kan?” sahutnya, cukup menohok sebenarnya tapi aku sengaja mengabaikannya.

Kali lain, saat kami pulang pelayanan di hari Minggu, aku mengajaknya nge-eskrim nggak jauh dari gereja. Cuacanya panas banget dan aku memesan beberapa varian es krim sekaligus.

“Feb, secukupnya ajalah, nanti malah jadi sakit,” katanya mengingatkan. Tapi aku kembali berdalih bahwa ini bentuk aku mencintai diriku sendiri. Alhasil tenggorokanku memang sakit malam harinya dan harus izin kerja esoknya.

Mila juga entah sudah berapa kali mengajakku olahraga, entah itu nge-gym atau jogging di Sabtu pagi. 

Dan aku akan selalu mengelak dengan alasan, “Masa aku nggak boleh bangun siang satu hari aja dalam seminggu sih, Mil. Aku begadang terus nih minggu ini. Lagian aku nggak ada masalah kok dengan tubuhku yang sekarang, aku nggak pengen diet, aku menerima diriku yang sekarang apa adanya.”

“Siapa bilang olahraga itu buat diet sih, Feb, olahraga itu buat sehat, kali!”

Kemudian kalau dia mengajak di hari Minggu pagi, aku akan menemukan jawaban lain. “Kita kan ada jadwal pelayanan jam 10, nanti malah kelelahan dan nggak fokus melayani.”

Tapi Mila memang sangat dipenuhi dengan kesabaran karena dia masih terus mengingatkan aku soal pola hidup yang lebih sehat dan bagaimana itu bisa sangat berpengaruh besar nantinya. Mila bukan orang yang anti makanan nggak sehat, sesekali ia juga makan makanan cepat saji. Dia juga tidak selalu rajin olahraga, sarapannya bukan salad atau susu low fat atau makanan-makanan sehat lainnya. Tapi dia memang peduli kesehatannya.  Dan ya memang, aku akui aku tidak se-fit dia. Dia selalu tampak segar dan bersemangat, sangat jarang sakit dan hampir tidak pernah terlihat kelelahan. Dia selalu tampak bersukacita.

Kenapa aku baru menyadari sekarang? Padahal pasti Tuhan sudah mengingatkanku sejak lama lewat sahabatku ini. Tampaknya aku selama ini bersembunyi di balik kalimat “menerima diri sendiri apa adanya.” Aku menghembuskan napas panjang.

Aku menyadari sudah terlalu lama aku berdiri di depan wastafel hanya untuk mencuci sebuah gelas. Aku kemudian kembali ke meja kerjaku dan tersenyum, mengacak rambut gadis di sebelahku asal. Dia hanya mengaduh kesal, merapikan kembali rambutnya. 

***

Sore ini kami harus pulang kantor dengan menuruni tangga karena sedang ada perbaikan lift, aku hampir tidak mampu melangkah lagi setelah tiba di lantai dasar. Padahal kami hanya berjalan dari lantai 4 dengan istirahat di setiap lantainya.

Mila memegangi pundakku, menungguku mendapatkan napas kembali. Sementara ia dengan cepat dapat mengatur kembali napasnya. Ia tersenyum. Kali ini dia yang mengacak rambutku.

“Jadi gimana, masih mau bilang menerima diri sendiri apa adanya dengan membiarkannya menjadi jompo sebelum waktunya seperti ini?” katanya sambil tertawa kecil. Aku pura-pura melotot ke arahnya. Dia semakin tertawa.

“Dengan punya tubuh sehat, kan kita bisa melayani lebih maksimal, bisa melayani lebih lama, sampai tua. Yaaah memang nggak ada jaminan sih bakal berumur panjang, karena umur memang di tangan Tuhan, tapi kita bisa melakukan apa yang kita bisa untuk menjaga tubuh kita yang sementara ini kan, Neng,” katanya lembut, penuh pengertian. 

“Kecuali kamu mau dipanggil Nenek di usiamu sekarang, karena harus ditolong menuju halte depan,” katanya lagi sambil tertawa puas. Aku menarik rambutnya pelan, kami tertawa bersama, berjalan menuju halte sebelum kami ketinggalan bus terakhir.

… tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, … dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Korintus 6:19).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
4 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *